Breaking

Wednesday, January 6, 2016

Makalah Ulumul Qur'an Israiliyyat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang tidak akan bissa berubah oleh campur tangan manusia, tetapi pemahaman terhadap al-Qur'an tersebut yang tidak tetap, selalu berubah sesuai dengan kemampuan orang yang memahami isi kandungan al-Qur'an itu. Dan ini akan terus berkembang sejalan tuntutan dan permasalahan hidup yang dihadapi manusia, maka di sinilah celah-celah orang yang ingin menghancurkan Islam berperan.
 
Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur'an harus dipahami, dihayati dan diamalkan oleh manusia yang beriman, namun dalam kenyataannya tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur'an, bahkan sahabat-sahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan kosa katanya. Tidak jarang mereka berbeda pendapat atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah yang mereka dengar atau yang mereka baca[1].

Pada masa Rasulullah saw hidup, umat Islam tidak banyak menemukan kesulitan dalam memahami petunjuk hidupnya, sebab manakala menemukan kesulitan dalam satu ayat, mereka akan langsung bertanya kepada Rasulullah saw.

Akan tetapi sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam banyak menemukan kesulitan karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab, al-Qur'an terkadang mengandung isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orang-orang Arab. Oleh karena itu mereka membutuhkan tafsir yang bisa membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat seperti itu.

Langkah pertama yang mereka ambil adalah melihat pada hadits Rasulullah saw, disamping itu, mereka mengambil langkah dengan cara menafsirkan satu ayat dengan ayat lainnya, langkah selanjutnya yang mereka tempuh adalah menanyakannya kepada sahabat yang terlibat langsung serta memahami konteks posisi ayat tersebut. Selain bertanya kepada para sahabat senior sumber informasi bagi penafsiran al-Qur'an, mereka bertanya juga kepada ahli kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. (Lihat juga: Makalah Asbabul Wurud Hadis)

Hal itu mereka lakukan lantaran sebagian masalah dalam al-Qur'an memiliki persamaan dengan yang ada dalam kitab suci mereka, terutama berbagai tema yang menyangkut umat-umat terdahulu.

Penafsiran seperti ini terus berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia dan kebutuhannya akan pentingnya al-Qur'an sebagai petunjuk bagi kehidupan, hingga tanpa disadari tafsir bercampur dengan Israiliyat.

Kehadiran israiliyyat dalam penafsiran al-Qur'an itulah yang, menjadi permasalahan tersendiri dikalangan para ahli tafsir al-Qur'an. Dibawah ini akan dibahas tentang ruang lingkup Israiliyyat, baik itu tentang pengertian, proses masuknya dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian israiliyyat?
2. Bagaimana Proses Masuk dan Berkembangnya Israiliyyat dalam Tafsir al-Qur'an?
3. Siapa saja contoh perawi Israiliyyat?
4. Seperti apa Klasifikasi Israiliyyat?
5. Bagaimana Pandangan Ulama Tentang Israiliyyat?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Israiliyat
Ditinjau dari segi bahasa kata Israiliyyat adalah bentuk jamak dan kata israiliyah, bentuk kata yang dinisbahkan pada kata Israil yang berasal dari bahasa Ibrani, Isra bararti hamba dan Il berarti Tuhan, jadi Israil adalah hamba Tuhan[2]. Dalam deskreptif historis, Israil barkaitan erat dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq bin Ibrahim as, dimana keturunannya tersebut yang berjumlah dua betas disebut Bani Israil[3]. Terkadang, Israil identik dengan Yahudi, kendati sebenarnya tidak demikian, Bani Israil merujuk pada garis keturunan, sedangkan Yahudi merujuk pada pola pikir, yang di dalamnya agama dan dogma. Menurut Adz-Zahabi, perbedaan Yahudi dan Nasrani bahwa yang terahir ini disebut ditunjukkan pada mereka yang beriman kepada rislah Isa a.s[4]. Dua kelompok masyarakat ini menurut M. Quraisy Shihab yang juga disepakati oleh para ulama dinamakan Ahl Kitab[5].

Secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan israiliyyat, misalnya:
1. Adz-Zahabi dalam kitabnya At-Tafsir wa Al-Mufassirrun mengatakan:
“Walaupun makna lahiriah dari Israiliyyat berarti pengaruh-pengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran al-Qur’an, kami mendefinisikannya lebih luas dari itu, yaitu pengaruh kebudayaan Yahudi dan Nasrani terhadap tafsir”.

Definisi lain Israiliyyat yang dikemukakan Adz-Zahabi adalah Israiliyyat mengandung dua pengertian:
a. Kisah dan dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadis yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya, yaitu: Yahudi, Nasrani atau lainnya.
b. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama[6].
2. Muhammad Khalifah dalam Kitab Dirasat Fi Manahij Al-Mufassirin, mengatakan:

Israiliyyat yang kami maksud adalah sesuatu yang berasal dari kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani) karena yang dikutip oleh kitab-kitab tafsir tidak selamanya berupa Israiliyyat yang secara bersamaan dimiliki Nasrani (dari kitab perjanjian lama), seperti Nasab Maryam, tempat kelahiran Nabi Isa as, dan lain-lain, walaupun jumlah riwayat Israiliyyat yang berasal dari kalangan Yahudi lebih banyak daripada yang berasal dari kalangan Nasrani.
Definisi lain dari asy-Syarbasi adalah kisah-kisah dan berita berita yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian diserap oleh umat Islam, selain dari Yahudi merekapun menyerapnya dari yang lain[7].
Sedangkan Sayyid Ahmad Khalil mendefenisikan israiliyyat dengan
riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab, baik yang berhubungan dengan agama mereka maupun yang tidak ada hubungannya sama sekali dengannya.Penisbatan riwayat israiliyyat kepada orang-orang Yahudi karena para perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk Islam.(Baca juga: Makalah Kepemimpinan/Leadership)

Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Israiliyyat adalah suatu cerita atau kisah-kisah yang dapat sejalan dengan islam atau bahkan tidak sejalan dengan ajaran islam. Namun pada umumnya, Israiliyyat merupakan dongeng-dongeng buatan non Muslim yang masuk ke dalam islam[8].
Menurut ulama, Israiliyyat ini banyak dimunculkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani, namun dominasi Yahudi lebih besar terkait munculnya Israiliyyat, hal ini ditandai dai nama itu sendiri[9].
Dari definisi-definisi di atas dapat memungkinkan untuk melihat ciri-ciri Israiliyyat, antara lain[10]:
1. Dari segi Sanad
a. Awal sanadnya berupa rawi yang berasal dari ahli Kitab (sumber primer)
b. Awal sanadnya berupa rawi sahabat/tabi’in, tabi’tabi’in yang terkenal sering menerima riwayat dari ahli kitab (sumber skunder)
c. Sanadnya tidak sampai kepada Nabi
2. Dari Segi Matan
a. Berupa kisah-kisah yang aneh dan asing
b. Berupa kisah-kisah masa lampau
c. Umumnya berupa kisah-kisah yang panjang

B. Proses Masuk Dan Berkembangnya Israiliyat Dalam Tafsir Al Qur An
Seperti diuraikan di atas, Israiliyyat bersumber dari cerita-cerita Yahudi dan Nasrani setelah banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masuk islam. Masuknya kisah israiliyyat dalam tafsir al-Qur'an tidak lepas dari kondisi sosio kultural masyarakat Arab pada zaman jahiliyah.
Sejak tahun 70 M terjadi imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Jazirah Arab karena adanya ancaman dan siksaan dari penguasa Romawi yang bernama Titus. Mereka pindah bersama dengan kebudayaan mereka yang diambil dari Nabi dan Ulama mereka, Berita itu mereka wariskan dari generasi ke generasi. Mereka mempunyai tempat yang bernama Midras sebagai pusat pengajian kebudayaan warisan yang telah mereka terima dan menemukan tempat tertentu sebagai tempat beribadah dan menyiarkan agama mereka. [11]

Selain itu juga bangsa Arab sering berpindah-pindah, baik kearah timur maupun barat. Mereka memiliki dua tujuan dalam berpergian. Bila musim panas pergi ke Syam dan dingin pergi ke Yaman. Pada waktu itu di Yaman dan Syam banyak sekali ahli kitab yang sebagian besar adalah bangsa Yahudi. Karena itu tidaklah mengherankan bila antara orang Arab dengan Yahudi terjalin hubungan. Kontak ini memungkinkan merembesnya kebudayaan Yahudi kepada bangsa Arab.

Di saat yang demikian Islam hadir dengan kitabnya yang bernilai tinggi dan mempunyai ajaran yang bernilai tinggi pula. Dakwah Islam disebarkan dan Madinah sebagai tempat tujuan Nabi hijrah tinggal beberapa bangsa Yahudi yaitu Qurayqa, Bani Quraidah, Bani Nadzir, Yahudi Haibar, Tayma dan Fadak. Karena orang Yahudi bertetangga dengan kaum muslimin, lama kelamaan terjadi pertemuan yang intensif antara keduanya, yang akhinya terjadi pertukaran ilmu pengetahuan.

Pada zaman Rasulullah saw, informasi dari kaumYahudi dikenal sebagai israiliyyat tidak berkembang dalam penafsiran al-Qur'an, sebab hanya beliau satu-satunya penjelas (mubayyin) berbagai masalah yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'an. Kendatipun demikian, Rasulullah juga telah memberikan semacam tanda atau himbauan pada umat Islam untuk “menerima” informasi yang datang dari Bani Israil, hal ini tampak dalam hadits beliau:

"Sampaikanlah yang datang dariku walaupun satu ayat, dan ceritakan (apa yang kamu dengar) dari Bani Israil dan hal itu tidak ada salahnya. Barang siapa yang berdusta ayatku, maka siap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka".
Demikian pula dalam hadits lain beliau bersabda:
"Janganlah kamu benarkan orang-orang ahli Kitab dan jangan pula kamu dustakan mereka. Berkatalah kamu sekalian, kami beriman kepada dan kepada apapun yang diturunkan kepada kami.

Dua hadits di atas menjadi gambaran bahwa Rosululah saw telah memberikan semacam warning akan perlunya sikap selektif dan hati-hati terhadap riwayat ahli kitab.
Berdasarkan hadis tersebut di atas pula dapat ditarik kesimpulan bahwa israiliyyat sebenarnya sudah lama muncul dan berkembang di kalangan bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah saw, namun ia belum menjadi khasanah keilmuan yang masuk dalam penafsiran al-Qur'an.

Setelah Rasul wafat, tidak seorangpun yang berhak menjadi penjelas wahyu Allah. Dalam kondisi ini para sahabat mencari sumber dari hadits Rasul. Apabila mereka tidak menjumpai, mereka berijtihad. Riwayat dan ahli Kitab menjadi salah satu rujukan. Hal ini terjadi karena ada persamaan antara al-Qur'an, Taurat dan Injil. Hanya saja al-Qur'an berbicara secara padat, sementara Taurat dan Injil berbicara panjang lebar.

Pada masa shahabat inilah israiliyvat mulai berkembang namun dalam menerima riwayat dari kaum Yahudi dan Nashrani pada umumnya mereka sangat ketat. Mereka hanya membatasi kisah-kisah dalam al-Qur'an secara global dan Nabi sendiri tidak menerangkan kepada mereka kisah-kisah tersebut.

Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihkan, mereka menangguhkannya. adz-Dzahabi mengatakan keterlibatan para sahabat dalam meriwayatkan israiliyyat tidak berlebih-lebihan dan dalam batas kewajaran[12].

Pada era tabi'in, penukilan dari ahli Kitab semakin meluas dan cerita-cerita israiliyyat dalam tafsir semakin berkembang. Sumber cerita ini adalah orang-orang yang masuk Islam dari kalangan ahli Kitab yang jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dari orang-orang untuk mendengar kisah-kisah yang ajaib dalam kitab mereka. Oleh karenanya pada masa tersebut muncul sekelompok mufassir yang ingin mengisi kekosongan pada tafsir, yang menurut mereka dengan memasukan kisah-kisah yang bersumber pada orang-orang Yahudi dan Nasrani, sehingga karenanya tafsir-tafsir tersebut menjadi simpang siur dan bahkan kadang-kadang mendekati takhayul dan khurafat. Diantaranya adalah Muqatil bin Sulaiman. Pada era ini pula banyak hadits-hadits palsu, kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullah saw tersebar[13].

Ada beberapa faktor yang menyebabkan masuknya israiliyyat dalam tafsir[14] yaitu:
1. Adanya perbedaan metodologi antara al-Qur'an. Taurat dan Injil dalam global dan ringksan titik tekannya adalah memberikan petunjuk jalan yang benar bagi manusia, sedangkan Taurat dan Injil mengemukakan secara terperinci, perihal, waktu dan tempatnya. Ketika menginginkan pengetahuan secara lebih teperinci tentang kisah-kisah umat
Islam bertanya kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang dianggap lebih, sehhingga menurut Muhammad Husin adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an menjadi tabu.
2. Ada pula pendapat yang mengatakan rendahnya kebudayaan masyarakat Arab karena kehidupan mereka yang kurang pandai dalam hal tulis menulis. Meskipun pada umumnya ahli Kitab juga selalu berpindah-pindah., tetapi pengetahuan mereka tentang sejarah masa lampau lebih luas.
3. Ada justifikasi dari dalil-dalil naqlilah yang difahami masyarakat Arab sebagai pembenaran bagi mereka untuk bertanya pada ahli Kitab.
4. Kondisi penduduk yang heterogen. Menjelang masa kenabian Muhammad saw jazirah Arab dihuni juga oleh kelompok Yahudi dan Nasrani.
5. Adanya rute perjalanan niaga. masyarakat Arab, rute selatan adalah Yaman yang dihuni oleh kalangan Nasrani. sedangkan rute ke utara adalah Syam yang dihuni oleh kalangan Yahudi.

C. Perawi Israiliyyat
Terkai perawi Israiliyat, tentu perlu dilihat pada masa itu, yakni pada masa tabi’in pemeluk islam semakin bertambah di kalangan ahli Kitab dan diriwayatkan para Tabi’in telah banyak mengambil informasi dari mereka. Para Mufasir yang datang setelah masa Tabi’in juga lebih giat dan rajin mengadopsi informasi yang berasal dari orang Yahudi[15].

Di bawah ini ada beberapa kalangan yang meriwayatkan Israiliyyat, baik dari kalangan sahabat maupun pengikut tabi’in.
1. Dari kalangan sahabat
Kalangan sahabat yang mengambil Israiliyyat juga sangat selektif dan meggunakan cara yang tepat dan benar, sejalan dengan apa yang ditetapkan oleh Rosulullah saw[16].
a. Thamim Ad-Dhari
Merupakan perawi yang berasal dari Nasrani, mengetahui banyak ilmu Nasraniah dan berita-beritanya. Disamping mengetahui ilmu Nasraniah, ia mengetahui juga tentang kejadian-kejadian, peperangan-peperangan, dan cerita umat terdahulu. Thamim Ad-Dhari adalh orang yang pertama kali mengisahkan Israiliyyat dan ia meminta izin kepada Umar bin Khatab, lalu Umar mengizinkannya.
b. Abdullah bin Salam
Abdullah bin Saam menyatakan keislamannya setelah Rasul saw tiba di Madinah. Ia merupakan orang yang turut dalam perang badar. Riwayat-riwayatnya banyak diterima Yusuf Muhammad, Auf bin Malik, Abu Huraiarah dan lainnya.
2. Perawi dari kalangan Tabi’in
Diantara kalangan Tabi’in yang dituduh meriwayatkan Israiliyyat adalah Ka’ab Al-Akhbar dan Wahab bin Munabbih. Keduanya merupakan orang Yahudi yang telah masuk islam.
a. Ka’ab Al-Akhbar
Merupakan orang Yahudi yang masuk islam pada zaman kekhalifahan Umar bin Khatab. Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh Muawiyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Malik bin Amir dsb[17].
b. Wahab bin Munabbih
Masuk islam pada masa Rosulullah, riwayat-riwayatnya Abdullah, Abdul Rahman, Abdus Sanad, Uqail dsb. Menurut Ibnu Hajar, Wahab bin Munabbih adalah tabi’in miskin yang mendapat kepercayaan dari jumhur ulama dan pengetahuannya luas tentang cerita-cerita permulaan alma ini[18].
3. Perawi dari kalangan pengikut Tabi’in
a. Abdullah Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Ia merupakan bangsa Rum dan tadinya beragama Nasrani. Dia memeluk islam akan tetapi mengetahui prinsip-prinsip ajaran masehi dari cerita-cerita Israiliyyat. Ibnu Jarir dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan Nasrani banyak meriwayatkan dan minta nasehat darinya. Riwayat-riwayatnya diterima oleh sebagian kalangan sahabat dan generasi sesudahnya seperti Ibnu Abbas, Amr bin Ash, Muhammad bin Said Al-Kalbi, Muqatil bin Sulaiman, Muhammad bin Marwan, mereka disebut sebagai sumber sekunder[19].
b. Muqatil bin Sulaiman
Muqatil bin Sulaiman merupakan orang yang mashur dalam bidang tafsir Al-Qur’an, dan beliau dianggap cacat karena termasuk ke dalam mazhab yang ditolak sehingga orang-orang secara umum lari dari ilmunya, dan secara khusus lari dari tafsirnya. Cerita-cerita dari Muqatil bin Sulaiman tidak jelas mencakup apakah itu cerita Israiliyyat, Kufarat dan kesesatan musymusybihah dan mujassimah yang diingkari oleh syara’dan tidak diterima oleh akal. (Baca juga: Makalah Identitas Mahasiswa)

D. Klasifikasi Israiliyyat
Dalam hal ini Adz Zahabi mengklasifikasikan Israiliyyat dalam tiga sudut pandang, yaitu:
1. Kualitas sanadnya
Dari sudut pandang sanadnya, memperlihatkan dua bagian, yaitu:
a. Israiliyyat yang sahih, contoh riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dari Ibnu Jarir Ath-Thabari, dari Al-Mustanna dari Ustman bin Umar, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, dari Atta bin Abi Rabbah. Ata berkata:
Aku bertemu dengan Abdullah bin Umar Bin Ash dan bertanay: “ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rosulullah saw, yang diterangkan ddalam Taurat. Ia menjawab “tentu demi Allah yang diterangkan dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an. “Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan pemelihara Ummi; Engkau adalah hambaKu, namamu dikagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut nyawamu sebelum agama islam tegak lurus, yaitu setelah diucapkan tiada Tuhan yang petut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah , dengan perantara Engkau pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli, dan membuka mata yang buta[20].
b. Israiliyyat yang dhaif, contohnya tentang lafaz Qaf pada surah Qaf ayat 1 yang disampaikan oleh Ibnu Hatim dari Ayahnya, dari Muhammad bin Ismail, dari Laits bin Abi Salim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, yang menyebutkan sebagai berikut:
Dibalik bumi ini Allah menciptakan sebuah lautan yang melingkupinya. Di dasar laut Allah telah menciptakan pula sebuah gunung yang bernama Qaf. Langit dan bumi ditegakkan di atasnya. Di bawahnya Allah menciptakan langit yang seperti bumi, yang jumlahnya tujuh lapis, kemudian di bawahnya lagi Allah menciptakan sebuah gunung yang bernama Qaf. Langit ke dua ini ditegakkan diatasnya, sehingga jumlah kesemuanya tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis langit[21].
2. Sudut pandang kaitannaya dengan islam
Sudut pandang ini juga memperlihatkan dua baagian, yaitu:
a. Israiliyyat yang sejalan dengan islam. Contoh: mislanya sifat-sifat Nabi adalah tidak kasar, tidak keras dan pemurah.
b. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan islam. Contoh: israiliyyat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir dari Basyir, dari Yasid, dari Sa’id, dan dari Qatadah, yang berkenaan dengan kisah Nabi Sulaiman a.s. dalam Israiliyyat tersebut menggambarkan Nabi Sulaiman yang tidak layak dilakukan oleh seorang Nabi, yakni minum arak[22].
c. Israiliyyat yang tidak masuk pada bagian pertama dan kedua, contoh: israiliyyat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dari Ka’ab Al-Akhbar dan Qatadah dari Wahhab bin Munabbih tentang orang yang pertama kali membangun Ka’bah yaitu Nabi Syits a.s[23].
3. Sudut pandang materi
Sudut pandang ini memperlihatkan tiga bagian yaitu:
a. Israiliyyat yang berhubungan dengan aqidah. Contoh israiliyyat yang menjelaskan firman Allah dalam surah Az Zumar ayat 67:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi dan seisinya berada dalam genggamanNya pada hari kiamat. Dan langit digulung dengan tangan karenaNya. Maha Suci Tuhan dengan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan[24].
Israiliyyat itu menjelaskan bahwa seorang ulama Yahudi datang menemui Nabi dan mengatakan langit diciptakan di atas jari[25].
b. Israiliyyat yang berhubungan dengan hukum, contoh: Israiliyyat berasal dari Abdullah bin Umar yang berbicara hukum rajam dalam Taurat[26].
c. Israiliyyat yang berhubungan dengan kisah-kisah

E. Pandangan Ulama tentang Kisah-Kisah Israiliyyat
Terkait hukum meriwayatkan kisah Israiliyyat, pendapat para ulama terhadap periwayatan Israiliyyat para ulama berbeda pendapat, misalnya:
Ibnu Taimiyah bertolak kepada tiga bagian Israiliyyat, yakni: Pertama sejalan dengan islam, dalam hal ini, Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Kedua tidak sejalan dengan islam, Ibnu Taimiyyah mengatakan harus ditolak dan tidak boleh meriwayatkannya. Ketiga tidak termasuk ke dalam bagiam dari keduanya, namun ia mengatakan tidak perlu dibenarkan dan didustakan namun boleh diriwayatkan[27].

Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengomentari dalam hal ini dengan mengatakan “boleh mengambil beritanya dari mereka (yang tidak adil atas kebenaran dan dustanya pada kita) adalah satu hal, sedangkan mengutip hal dalam tafsir al Qur’an dan menjadikannya sebagai suatu pendapat atau riwayat dalam memahami makna ayat-ayat al Qur’an, atau menentuksn sesuatu yang tidak ditemukan di dalamnya adalah hal lain. Ini karena mengutip hal seperti itu disamping Kalam Allah swt dapat memberi kesan bahwa berita yang tidak tahu kebenaran dan dustanya itu adalah penjelas makna firman Allah dan menjadi pemerinci apa yang disebut global di dalamnya[28].

Ibnu Kaldun menyatakan diperbolehkannya merujuk pada ahli Kitab. Dia mengatakan “tafsir itu terbagi menjadi dua macam. (salah satunya adalah tafsir naqli yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang dinukil dari kaum salaf). Berita yang dinukil kaum salaf biasanya berupa pengetahuan tentang Nasikh Mnsukh, Asbabun Nuzul dan segala sesuatu yang tidak bisa diketahui kecuali melalui riwayat dari generasi sahabat dan tabi’in. Sebenarnya generasi awal ini sudah memiliki perhatian yang sangat besar dan riwyat naqli ini, hanya saja kitab dan hasil nukilan mereka masih banyak mengandung unsur baik dan buruk[29].

Sementara Muhammad Abduh merupakan ulama yang sangat gencar mengkritik kebiasaan ulama tafsir generasi pertama yang banyak menggunakan Israiliyyat sebagai penafsir Al Qur’an. Bahkan salah satu motivasi penulisan tafsirnya adalah untuk menghindari kebiasaan ulama tafsir itu. Abduh menolak validitas ulama tafsir generasi pertama yang menghubungkan Al Qur’an dengan Israiliyyat. Menurutnya cara itu telah mendistorsi pemahaman terhadap islam. Sikap penolakan keras juga ditunjukkan oleh murid-muridnya seperti Rasyid Ridha, ia mengatakan “riwayat israiliyyat yang diriwayatkan secara ekstrim oleh para ulama sebenarnya telah keluar dari konteks Al Qur’an”[30]. Sama halnya dengan Musthafa Al Maraghi yang juga seorang murid dari Muhammad Abduh memandang bahwa kitab tafsir telah dikotori oleh israiliyyat yang tidak jelas kualitasnya. Israiliyyat merupakan sesuatu yang ditransfer untuk menipu orang-orang arab. Demikian juga Ibnu Mas’ud berkata: “jangan tanyakan kepada ahli kitab tentang tafsir, karena mereka tidak dapat membimbing ke arah yang benar dan mereka sendiri berada dalam kesalahan”[31].

Menurut Zainul Hasan Rifa'i, masuknya israiliyyat dalam penafsiran al-Qur'an terutama yang bertentangan dengan prinsif asasinya banyak menimbulkan pengaruh negatif pada Islam. Diantaranya adalah merusak akidah umat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Mudatil ataupun Muhammad dengan Zainab binti Jahsyi yang keduanya mendiskriditkan pribadi Nabi yang ma'shum Berita menggambarkan Nabi sebagai pemburu nafsu seksual. Hal ini membawa kesan bahwa Islam adalah agama khurafat, takhayul dan menyesatkan. Hal ini tampak pada riwayat al-Qurthubi ketika menafsirkan firman Allah swt surat al-Mukmin: ayat 7 , yaitu :
"para malaikat memikul arsy 'dan yang disekitarnya bertasbih memuji Tuhan..."
Ayat ini ditafsirkan dengan mengatakan "Kaki malaikat pemikul `arsy berada di bumi paling bawah, sedangkan kepalanya menjulang ke 'arsy.
Ditambahkannya masuknya israiliyyaat ini memalingkan perhatian umat Islam dalam mengkaji soal-soal kilmuan Islam, mereka tidak lagi antusias memikirkan hal-hal makro, seperti sibuk dengan nama dan anjing Ashabul Kahfi, jenis kayu dari tongkat Nabi musa as, nama binatang yang ikut serta dalam perahu Nabi Nuh as dan sebagainya dimana perincian
itu tidak dinamakan dalam al-Qur'an karena memang tidak bermanfaat, sekiranya bermanfaat al-Qur'an tentu menjelaskan.

Selanjutnya adz-Dzahabi mengatakan israiliyyat akan merusak akidah kaum muslimin karena mengandung unsur penyerupaan dan pengkongkritan (tasybih dan tajsim) kepada Allah dan mensifati Allah dengan sifat yang tidak sesuai keagungan dan kesempumaan-Nya

1. Ulama yang melarang untuk meriwayatkan didasari oleh beberapa landasan, yakni:
a. Hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah:
Ahli Kitab membacakan kitab Taurat dengan menggunakan bahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa arab untuk konsumsi orang Arab. Mendengar hal itu, Nabi bersabda “Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah Kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang telah diturunkan kepada kami[32].
b. Hadis riwayat Imam Ahmad, Ibnu Abi Syihab dan Bazzar dari Ibnu Abdillah:
Sesungguhnya Umar bin Al Khattab datang kepada Nabi dengan membawa surat yang ditulis Ahli Kitab lalu membacakannya. Kemudian Nabi marah dan bersabda;”apakah engkau bimbang dan ragu dengan surat ini?, demi Allah Aku telah mendatangkan surat ini dalam keadaan putih bersih. Janganlah sekali kamu bertanya kepada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menceritakannya kepada kamu sekalian dengan sebenar-benarnya, tetapi kamu sekalian mendustakannya; atau mereka menceritakan berita bohong, tetapi kamu sekalian membenarkannya. Demi zat yang yang kekuasaan-Nya berada di tanganku, seandainya Nabi Muasa masih hidup, tidaklah ia memberikan kebebasan, kecuali menyuruh mengikuti jejakku[33].
c. Riwayat Imam Buhari dari Abdullah bin Abbas:
Wahai kaum Muslimin bagaimana kamu sealian bertanya kepada ahli Kitab padahal Kitab kamu sekalian yang diturunkan Nabi Muhammad telah menceritakan berbagai macam berita yang bersumber dari Allah dan tidak pernah berubah. Allah telah menceritakan kepada kamu sekalian bahwa ahli kitab telah mengganti apa-apa yang telah ditetapkan Allah. Akan tetapi mereka menyatakan bahwa apa yang telah diubahnya itu berasal dari Allah agar dapat ditukar dengan harga yang sangat rendah. Apakah wahyu yang datang kepada kalian yang datang tidak melarang bertanaya kepada mereka? Demi Allah, Aku tidak melihat seorangpun dari mereka bertanya kepada kamu tentang kitab yang diturunkan kepada kalian[34].

2. Ulama yang membolehkan meriwayatkan Israiliyyat berdasarkan keterangan-keterangan sebagai berikut:
a. Riwayat Imam Buhari dari Abdullah bin Amr bin As:
“sampaikanlah olehmu apa yang kalian dapatkan dariku, walaupun satu ayat. Ceritakanlah Bani Israil dan tidak ada dosa di dalamnya. Siapa berbohong padaku, maka bersiaplah untuk mengambil tempat di dalam neraka[35].

Adapun kebolehan untuk meriwayatkan Israiliyyat tersebut, bagi ulama yang membolehkan didasarkan pada yang sejalan dengan islam. Dengan demikian hukum meriwayatkan Israiliyyat sangat bergantung pada jenisnya. Jika yang dimaksud Israiliyyat yang sejalan dengan islam periwayatannya tidak dilarang, namun sebaliknya, seandainya itu tidak sejalan dengan islam, maka tidak diperbolehkan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Israiliyyat merupakan kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal riwayatnya disandarkan atau bersumber pada Yahudi, Nashrani dan lainnya atau cerita-cerita yang secara sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits, yang sama sekali tidak dijumpai dalam sumber-sumber yang sahih.
 
Masuknya israiliyyat dalam tafsir tidak terlepas dari kondisi sosio cultural masyarakat arab pada zaman jahiliyah. Adanya migrasi besa besaran orang Yahudi pada tahun 70 M ke jazirah Arab karena ancaman dari Romawi yang dipimpin oleh kaisar Titus menimbulkan kontak antara keduanya, ditambah lagi kondisi orang Arab sendiri yang sering melakukan perjalanan dagang ke Syam dan Yaman., di Madinah sendiri banyak orang Yahudi yang bermukim di sana.

Keberadaan israiliyyat dalam tafsir banyak memberikan pengaruh buruk, sikap teliti yang diperlihatkan oleh para sahabat dalam mentransfer, israiliyyat tidak lg menjadi perhatian genarasi sesudahnya, sehingga banyak israiliyyat yang Mengandung khurafat dan bertentangan dengan nash mewarnal kitab tafsir.

B. Saran
Tentu banyak kekurangan dari pembahasan yang penulis uraikan di atas, baik dari sisi pengertian, tujuan, tokoh-tokohnya dan sebagainya, namun mudah-mudahan ini bisa menjadi bahan tambahan bacaan keilmuan bagi siapapun yang membacanya.



DAFTAR PUSTAKA


Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa al-Hadits, terjemahan Didin Hafiduddin, Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993`

Zainul Hasan Rifa’i, Kisah Israiliyyat dalam Penafsiran, dalam Sukardi (ed), Belajar Mudah Ulumul Qur’an;Studi Khazanah al-Qur’an, Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti Prima Yasa, 1998.

Muhammad Chirzin, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti Prima Yasa, 1998.
 
Supiana dan M. Kamran, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Dasar Metodologi, Bandung: Pustaka Islamika.

M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet I
 
Muhammad Husein Adz-Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadis, Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 1993.

Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Ahmad Sharbasi, Qissat At Tafsir, Beirut: Dar Al-Qalam, 1962, Juz I, dikutip dari Nur Alifah, Skripsi Dengan Judul Israiliyyat Dalam Tafsir At-Thabrani dan Ibnu Kastir, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Muhammad Husin adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, Jakarta: Rajawali, 1986.

Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi'i, Ulumul Qur'an, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Kajian Kritis Objektif, dan Komprehensif, Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000.

Muhammad Huzain Az-Zahabi, Penyimpangan-Penyimoangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Alqur an Tajwid dan Terjemahannya, Bandung: Cordoba, Cet I, 2013.

Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al Qur’an, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999.

Muhammad Abdurrahim Muhammad, Tafsir Nabawi, Jakarta Selatan: Pustaka Azam, 2001.



[1] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa al-Hadits, terjemahan Didin Hafiduddin, Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993, hlm 59
[2] Zainul Hasan Rifa’i, Kisah Israiliyyat dalam Penafsiran, dalam Sukardi (ed), Belajar Mudah Ulumul Qur’an;Studi Khazanah al-Qur’an, Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti Prima Yasa, 1998, hlm 78.
[3] Muhammad Chirzin, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti Prima Yasa, 1998, hlm 78.
[4] Supiana dan M. Kamran, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Dasar Metodologi, Bandung: Pustaka Islamika, hlm 197.
[5] M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet I, hlm 147-148
[6] Muhammad Husein Adz-Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadis, Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 1993, hlm 9.
[7] Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 24-25
[8] Ahmad Sharbasi, Qissat At Tafsir, Beirut: Dar Al-Qalam, 1962, Juz I, hlm 14, dikutip dari Nur Alifah, Skripsi Dengan Judul Israiliyyat Dalam Tafsir At-Thabrani dan Ibnu Kastir, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, hlm 42.
[9] Manna Al-Qatan, Mahabits Fi Ulum Al Qur’an, Mesir: Mansyurat Al Ashar La Hadis, 1973, dikutip dari Nur Alifah, Israiliyyat Dalam Tafsir..., hlm 43.
[10] Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat dalam Tafsir At-Thabrani dan Ibnu Kastir, Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet I, 1999, hlm 29.
[11] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa al-Hadits, terjemahan Didin Hafiduddin (Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993), hlm 25.
[12] Muhammad Husin adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, Jakarta: Rajawali, 1986, hlm 24.
[13] Muhammad Husin adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran..., hlm 24.
[14] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi'i, Ulumul Qur'an, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hlm 242-243.
[15] Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Kajian Kritis Objektif, dan Komprehensif, Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000, hlm 65.
[16] Muhammad Huzain Az-Zahabi, Penyimpangan-Penyimoangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996, hlm 65.
[17] Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat..., hlm 37
[18] Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat..., hlm 37
[19] Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat..., hlm 38
[20] Ibnu Kastir, Tafsir Alqur’an Al ‘Azim, jilid II, hlm 253.
[21] Ibnu Kastir, Tafsir Alqur’an Al ‘Azim, jilid IV, hlm 221.
[22] Ibnu Kastir, Tafsir Alqur’an Al ‘Azim, Juz IV, hlm 35
[23] Ibnu Kastir, Tafsir Alqur’an Al ‘Azim, Juz I, hlm 71
[24] Alqur an Tajwid dan Terjemahannya, Bandung: Cordoba, Cet I, 2013, hlm 465
[25] Ibnu Kastir, Tafsir Alqur’an Al ‘Azim, Juz IV, hlm 62
[26] Ibnu Kastir, Tafsir Alqur’an Al ‘Azim, Jilid I, hlm 382
[27] Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat..., hlm 38
[28] Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al Qur’an, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999, hlm 497
[29] Muhammad Abdurrahim Muhammad, Tafsir Nabawi, Jakarta Selatan: Pustaka Azam, 2001, hlm 102.
[30] Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat..., hlm 43.
[31] Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an.., hlm 38.
[32] Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid IV, Beirut, Dar Al Fikr, hlm 270.
[33] Ahmad bin Hambal, Musnad, Jilid IV, Beirut: Al-Maktabah, Al-Ilm Wasar Sadir, hlm 1987
[34] Imam Buhari, Sakhih Bukhari, Jilid III, Beirut Dart Al Fikr, hlm 181
[35] Imam Buhari, Sakhih Bukhari, Jilid III, Beirut Dart Al Fikr, hlm 181

No comments:

Post a Comment

Adbox