Breaking

Sunday, March 27, 2016

Skripsi Persepsi Masyarakat Tentang Ajaran Yang Dianggap Menyimpang



A.           Latar Belakang
Masyarakat adalah gabungan dari kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dikenal tiga bentuk masyarakat, yaitu: 1) masyarakat homogen; 2) masyarakat majemuk; dan masyarakat heterogen.
Masyarakat homogen ditandai oleh adanya ciri-ciri yang anggotanya tergolong dalam satu asal atau satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Masyarakat homogen dapat ditemukan dalam satuan-satuan masyarakat berskala kecil tetapi juga ada yang terwujud dalam masyarakat berskala besar seperti masyarakat Jepang. Sedangkan masyarakat majemuk terdiri atas sejumlah suku bangsa yang merupakan bagian dari bangsa itu, seperti masyarakat Indonesia atau masyarakat Amerika.  Selanjutnya masyarakat heterogen memiliki ciri-ciri bahwa; 1) pranata-pranata primer yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa telah diseragamkan oleh pemerintah nasional; 2) kekuatan-kekuatan politiksuku bangsa telah dilemahkan oleh sistem nasional melalui pengorganisasianyang berlandaskan pada solidaritas; 3) memiliki pranata alternatif yang berfungsi sebagai upaya untuk mengakomodasi perbedaan dan keragaman; 4) adanya tingkat kemajuan yang tinggi dalam kehidupan ekonomi dan teknologi sebagai akibat dari pranata-pranata alternatif yang beragama tersebut.[1]

Elizabeth K. Notittingham yang dikutip oleh Jalaludin membagi masyarakat menjadi tiga tipe, dalam pembagian ini Elizabeth menggunakan pendekatan sosiologi agama. Tipe pertama adalah masyarakat yang terbelakang dan memiliki nilai-nilai sakral. Kedua, masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Ketiga, adalah masyarakat industri sekuler.
Dalam masyarakat tipe pertama menurut Elizabeth, setiap anggota menganut agama yang sama; oleh karena itu keanggotaan dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat ekonomis, politik, kekeluargaan maupun rekreatif. Sedangkan dalam masyarakat praindustri yang sedang berkembang, organisasi keagamaan sudah terpisah dari organisasi kemasyarakatan. Di masyarakat ini organisasi keagamaan merupakan organisasi formal yang mempunyai tenaga profesional tersendiri. Walaupun agama masih memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai kepada kehidupan masyarakat , namun pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan sekuler masih dapat dibedakan. Agama sudah tidak sepenuhnya menyusup ke aktivitas kehidupan masyarakat, walaupun masih ada anggapan bahwa agama masih dapat diaplikasikan secara universal dan lebih tinggi dari norma-norma kehidupan sosial sehari-hari pada umumnya.
Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat tipe ini menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perorangan dan pembentukan citra pribadinya. Walaupun tidak sekental tipe yang pertama, pada masyarakat tipe yang kedua ini agama ternyata masih difungsikan dalam kehidupan masyarakat. Namun terlihat ada kecenderungan peran agama kian bergeser ke pembentukan sikap individu.
Kemudian pada masyarakat industri sekuler , organisasi keagamaan terpecah-pecah dan bersifat majemuk. Ia melihat di masyarakat moderen yang kompleks ini, ikatan antara organisasi keagamaan dan pemerintahan duniawi tidak ada sama sekali. Karena itu, agama cenderung dinilai sebagai bagian dari kehidupan manusia yang berkaitan dengan persoalan akhirat, sedangkan pemerintahan berhubungan dengan kehidupan duniawi.[2]
Selain itu, Prof. Dr. Mukti Ali yang dikutip oleh Jalaludin juga mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah sebagai etos pembangunan. Maksudnya adalah bahwa agama yang menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
Selanjutnya nilai moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan yang dilarang agama dijahuinya dan sebaliknya selalu giat dalam menerapkan perintah agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun demi kepentingan orang banyak. Dari tingkah laku dan sikap yang demikian tercermin suatu pola tingkah laku yang etis . Penerapan agama lebih menjurus keperbuatan yang bernilai akhlak mulia dan bukan untuk kepentingan lain. Segala bentuk perbuatan individu maupun masyarakat selalu dalam suatu garis yang serasi dengan peraturan dan aturan agama dan akhirnya akan terbina suatu kebiasaan yang agamis.
Selain menjadi ethos dalam pembangunan Prof. Dr. Mukti Ali juga mengemukakan peranan agama dalam pembangunan yaitu sebagai motivasi. Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengalaman ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan. Keyakinan akan balasan Tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk berbuat tanpa imbalan material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan hari akhirat lebih di dambakan oleh penganut agama yang taat.
Peranan-peranan positif ini telah membuahkan hasil yang kongkret dalam pembangunan baik berupa sarana maupun prasarana yang dibutuhkan.
Sumbangan harta benda dan milik untuk kepentingan masyarakat yang berlandaskan ganjaran keagamaan telah banyak dinikmati dalam pembangunan, misalnya:
1.        Hibbah dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana ibadah ataupun lembaga pendidikan.
2.        Dana yang terpakai untuk pembangunan lembaga pendidikan dan rumah-rumah ibadah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya.
3.        Pengerahan tenaga yang terkoordinasi oleh pemuka agama dalam membina kegotongroyongan.
Melalui motivasi keagamaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau pemikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan aset yang potensial dalam pembangunan.[3]
Max Weber masih dikutip oleh Jalaludin melihat ada hubungan antara etos agama ini dengan pembangunan ekonomi. Ia melihat kemajuan ekonomi liberal Eropa dan Negara Barat, didukung oleh etika dari ajaran agama Protestan (Protestant Etich). Pandangan seperti itu juga dikaitkan dengan oleh sejumlah pengamat dengan kemajuan bangsa Jepang. Keunggulan bangsa Jepang dinilai erat kaitannya dengan nilai-nilai ajaran agama shinto yang bertitikan Bushido, yaitu ketundukan kepada pemimpin.
Dengan mitos “kaisar” sebagai titisan dewa matahari, etos kerja masyarakat Jepang dapat diarahkan pada pembangunan bangsanya. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di thailand, dengan nilai ajaran Budhanya. Sedangkan masyarakat Bali terkait pula dengan etos ajaran agama Hindu Bali. Sudah sejak lama di masyarakat Bali penghormatan kepada pemuka agama tetap terjaga.
Di Kutai Timur baru-baru ini telah dihebohkan dengan kasus pemahaman keagamaan cukup berbeda yang dikenal dengan nama ajaran “Guru Bantil”. Ajaran Guru Bantil tersebut mulai mencuat kontroversinya sekitar sejak tahun 2010/2011, hal ini menjadi perhatian semua pihak, khususnya lembaga-lembaga keagamaan termasuk pemerintah daerah karena ajaran Guru Bantil diindikasikan menyimpang dari ajaran Islam.
Sebuah ajaran keagamaan yang dikatakan baru dan berbeda serta dianggap menyimpang dari ajaran Islam tersebut  menjadi perhatian serius Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementrian Agama (Kemenag) Kutai Timur karena dianggap ajaran-ajaran Islam yang disampaikan tidak sesuai syari’at islam, misalnya seperti puasa cukup sehari dalam satu bulan Ramadhan, sholat dengan dua imam, zakat diri dan sebagainya. Bahkan menurut MUI Kabupaten Kutai Timur dalam rapat yang digelar dengan menghadirkan dari berbagai lembaga keagamaan (Kemenag Kutim, BKPRM, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah) dan pihak kepolisian, menyimpulkan ada sekitar 20 (dua puluh) item ajaran yang diindikasikan menyimpang dari syari’at Islam[4].
Dalam perkembangannya, ternyata ajaran Guru Bantil menjadi perhatian serius karena dianggap tidak mengindahkan nasehat atau arahan dari berbagai lembaga keagamaan khususnya MUI selaku lembaga kegamaan yang bertanggungjawab, dan kini Guru Bantil (seorang yang bertanggungjawab) diamankan oleh pihak keamanan yang berwajib dengan alasan mengajarkan ajaran islam yang menyimpang dari syari’at[5].
Menjadi menarik di sini adalah satu sisi banyak para pengikut Guru Bantil yang fanatik dan mengikuti ajarannya, tapi sisi lain banyak lembaga keagamaan yang mengatakan ajaran Guru Bantil menyimpang, untuk itu peneliti merasa tertarik untuk meneliti apa yang sebanarnya terjadi dengan ajaran Guru Bantil dengan judul “Persepsi Masyarakat Tentang  Ajaran Guru Bantil di Dusun Rantau Bemban Kecamatan Sangatta Utara”.


[1] Parsudi Suparlan, Orang Sakvai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1990, h.8-12
[2] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.323-324
                [3] Jalaludin (2010), Psikologi Agama....., h.328-329
                [4] Koran Kaltim Post, edisi Hari Jum’at  tanggal 14 Desember, 2012, h.28
                [5] Koran Kaltim Post, edisi Hari Sabtu tanggal 17 Agustus, 2013, h.29

No comments:

Post a Comment

Adbox