Breaking

Thursday, March 24, 2016

Filologi Sebagai Pendekatan Kajian Manuskrip Klasik



PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Dalam konteks penelitian, filologi selama ini dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau yang berupa tulisan. Studi terhadap karya tulis masa lampau dilakukan karena adanya anggapan bahwa dalam peninggalan tulisan terkandung nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini. Banyak orang ingin mengetahui referensi-referensi pengetahuan khususnya berupa bentuk tulisan ke sumber aslinya, untuk itu filologi kian ramai dalam dunia penelitian.

Berbeda dengan produk masa kini, hasil cipta masa lampau tidak selalu dapat diterima dengan jelas sebagai akibatnya banyak tulisan
masa lampau dirasakan tidak mudah dipahami. Karakteristik karya-karya tulis dengan kondisi seperti tersebut menuntut pendekatan yang memadai. Untuk membaca karya-karya tersebut diperlukan ilmu yang mampu menyiangi kesulitan akibat kondisinya sebagai produk masa lampau. Dalam hal inilah ilmu filologi diperlukan.
Dalam kurun waktu 50 tahun ini, penelitian filologi telah maju dengan pesat. Seperti halnya ilmu lain, teknologi modern telah menunjang perkembangannya.[1] Studi filologi merupakan studi yang sangat signifikan dalam hal mengkaji warisan budaya yang tersebar dibelahan dunia termasuk di Indonesia. Studi filologi berkonsentrasi pada pengkajian terhadap naskah-naskah kuno.
Filologi adalah ilmu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas mencakup bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan.[2] Disiplin filologi pernah mencapai prestasi spiritual dan ilmiah pada berbagai periode dalam tradisi besar termasuk tradisi Barat dan tradisi Islam.[3]  Filologi sudah dikenal sejak abad ke-3 SM oleh sekelompok ahli di kota iskandariyah yang dikenal sebagai ahli filologi.
Sejarah perkembangan filologi terus berlanjut ke kawasan timur tengah pada abad ke-4 M, kemudian menyebar ke kawasan Nusantara pada abad ke-16 M.
Nusantara dikenal sebagai negara yang kaya dengan khazanah budaya peninggalan masa lampau. Salah satu diantaranya adalah peninggalan dalam bentuk naskah-naskah lama dengan tulisan tangan, dimana objek kajian filologi sendiri adalah teks dan naskah. Keduanya  diibaratkan dua sisi dari sebuah mata uang.
Perlu dicatat bahwa jumlah naskah-naskah milik pribadi (Nusantara) yang banyak diakses karena dianggap suci (keramat). Itupun baru naskah berbahasa arab, belum lagi naskah-naskah dalam bahasa daerah nusantara lainnya seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Batak, dan lain-lain yang tidak jarang juga memuat teks-teks keagamaan. Nurcholis Madjid pernah mengatakan, bahwa naskah-naskah “kita” terdapat dalam jumlah jutaan.
Kawasan Nusantara terbagi dalam berbagai etnis dengan ciri khas masing-masing tanpa meninggalkan sifat khas kebudayaan Nusantara.Keinginan untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara hadir setelah ketangan bangsa Barat. Yang kemudian telaah naskah dilanjutkan oleh para penginjil. Dari perkembangan filologi ini pula lahir para tokoh-tokoh filologi Nusantara yang berperan dalam perkembangan filologi[4].
Cabang ilmu ini memang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas, terutama di kalangan masyarakat Islam. Kekayaan dan warisan intelektual Islam menjadi terabai, padahal warisan inteletual yang berupa karya tulis itu sedemikian banyaknya. Di Indonesia saja, banyak peninggalan kitab klasik yang ditulis oleh ulama nusantara. Misalnya Imam Nawawi al-Bantani yang telah menulis tidak kurang dari seratus kitab berbahasa Arab dalam berbagai bidang keilmuan. Contoh lain, Syekh Mahfudh at-Tarmasy yang menulis hingga 60 kitab meliputi tafsir, qiraah, hadits, dan sebagainya.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pendekatan filologi serta ruang lingkupnya dan kaitannya dengan kajian stui Islam.

B.            Rumusan Masalah
1.        Apa itu Filologi?
2.        Apa tujuan dan fungsi Filologi?
3.        Metode-Metode Penelitian Teks?
4.        Bagaimana Filologi dalam Kajian Studi Islam?




BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Filologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan tertulis.[5]
Filologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “philos” yang berarti ‘cinta’ dan“logos” diartikan “kata”. Pada kata “filologi” kedua kata itu secara harfiyah membentuk arti “cinta kata-kata” atau “senang bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar” atau “senang kebudayaan”. Sedangkan dalam bahasa Arab, filologi adalah ilmu tahqiq an-nushush (penelitian untuk mengetahui hakikat suatu tulisan).[6]
Webster’s New Collegiate Dictionary (1953) mendefinisikan filologi ke dalam tiga hal, yaitu:
1.         cinta pengetahuan atau cinta sastra, yaitu studi sastra, dalam arti luas termasuk etimologi, tata bahasa, kritik, sejarah sastra dan linguistik;
2.         ilmu linguistik;
3.         studi tentang budaya orang-orang beradab sebagaimana dinyatakan dalam bahasa, sastra, dan religi mereka, termasuk studi bahasa dan perbandingannya dengan bahasa serumpun, studi tata bahasa, etimologi, fonologi, morfologi, semantik, kritik teks, dll
Filologi sebagai istilah, pertama kali diperkenalkan oleh Erastothenes, dan  kemudian dipergunakan oleh sekelompok ahli dari Iskandariyah sejak abad ke-3 S.M. Sekelompok ahli ini bekerja dengan tujuan untuk menemukan bentuk asli teks-teks lama Yunani. Sebagai istilah, filologi mempunyai definisi yang sangat luas, dan selalu berkembang.


1.        Filologi sebagai Imu Pengetahuan
Filologi pernah disebut sebagai L’etalage de savoir ‘pameran ilmu pengetahuan’. Hal ini dikarenakan filologi membedah teks-teks klasik yang mempunyai isi dan jangkauan yang sangat luas. Gambaran kehidupan masa lampau, berserta segala aspeknya, dapat diketahui melalui kajian filologi. Termasuk di dalamnya, berbagai macam ilmu pengetahuan dari berbagi macam bidang ilmu.
2.        Filologi sebagai Ilmu Sastra
Filologi juga pernah dikenal sebagai ilmu sastra. Hal ini dikarenakan adanya kajian filologi terhadap karya-karya sastra masa lampau, terutama yang bernilai tinggi. Kajian filologi semakin merambah dan meluas menjadi kajian sastra karena mampu mengungkap karya-karya sastra yang bernilai tinggi.
3.        Filologi sebagai Ilmu Bahasa
Teks-teks masa lampau yang dikaji dalam filologi, menggunakan bahasa yang berlaku pada masa teks tersebut ditulis. Oleh karena itu, peranan ilmu bahasa, khususnya linguistik diakronis sangat diperlukan dalam studi filologi.
4.        Filologi sebagai Studi Teks
Filologi sebagai istilah, juga dipakai secara khusus di Belanda dan beberapa negara di Eropa daratan. Filologi dalam pengertian ini dipandang sebagai studi tentang seluk-beluk teks, di antaranya dengan jalan melakukan kritik teks.
Filologi dalam perkembangannya yang mutakhir, dalam arti sempit berarti mempelajari teks-teks lama yang sampai pada kita di dalam bentuk salinan-salinanya dengan tujuan menemukan bentuk asli teks untuk mengetahui maksud penyusunan teks tersebut. Filologi dalam arti luas berarti mempelajari kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana yang terdapat dalam bahan-bahan tertulis.[7]
Mereka meneliti teks-teks lama dari bahasa Yunani dengan tujuan menemukan bentuknya yang asli dan bebas dari kesalahan penulisan serta mengetahui tujuan penulisnya. Dari kegiatan ini dapat diketahui pentingnya pengkajian secara mendalam terhadap bahasa dan kebudayaan yang melatar belakangi lahirnya teks. Kegiata filologi yang menitikberatkan pada bacaan yang salah ini disebut dengan filologi tradisional. Kemudian istilah filologi dipakai sebagai sastra ilmiah, ketika teks-teks yang dikaji berupa sastra yang bernilai tinggi, seperti karya Yunani kuno. Selanjutnya istilah filologi digunakan untuk menyebut studi bahasa dan ilmu bahasa (linguistik). Karena pentingnya peranan bahasa dalam mengkaji teks sehingga kajian utamanya adalah bahasa, dan terutama bahasa teks-teks yang lama. Sedangkan istilah filologi dalam arti studi teks adalah suatu studi yang melakukan penelaahan dengan mengadakan kritik teks.[8]
Dalam perkembangannya, kajian filologi menitikberatkan pada perbedan yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat perbedaan-perbedaan sebagai alternatif yang positif. Dalam hubungan inilah suatu naskah dipandang sebagai penciptaan kembali (baru), karena mencerminkan perhatian yang aktif dari pembacanya. Sedangkan berbagai bacaan atau varian yang ada diartikan sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami, menafsirkan, dan membetulkan teks yang dianggap tidak tepat. Dalam proses pembetulan ini harus dikaitkan dengan ilmu bahasa, sastra, budaya, keagamaan, dan tata politik yang ada pada zamannya. Cara kerja filologi yang demikian disebut dengan filologi modern. Maka yang dimaksud dengan istilah filologi adalah usaha dalam memahami teks sebuah naskah dengan memperhatikan berbagai kajian, yang dimaksudkan untuk memurnikannya dari kesalahan-kesalahan dalam proses penyalinan.


B.            Tujuan dan Fungsi Filologi
Secara umum filologi bertujuan untuk menertibkan, menyunting dan menganalisis suatu naskah kuno[9]. Tentu dalam hal ini sangat memertlukan disiplin-disiplin ilmu lainnya, seperti sejarah, filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah agama, dan sejarah perkembangan hukum (terutama hukum adat). Maka dapat dikatakan bahwa secara praktis penelitian filologi dilakukan untuk tujuan menunjang ilmu-ilmu lain. Sedangkan secara metodologis dilakukan karena banyaknya naskah kuno yang masih harus diuji otentisitas isi kandungan atau teksnya. Pengujian otentisitas atau kemurnian suatu teks harus dilakukan secara cermat dan kritis terhadap semua varian yang terdapat dalam teks, yang dimaksudkan agar dapat menghasilkan suatu teks yang mendekati aslinya.[10]
Kemungkinan varian teks dalam berbagai naskah dapat dilihat dari riwayat kemunnculan teks itu sendiri. De Haan berpendapat bahwa proses terjadinya teks ada beberapa kemungkinan, sebagai berikut:
1.    Aslinya ada dalam ingatan pengarang, dan apabila seseorang ingin memiliki teks itu dapat menulisnya melalui dikte. Maka setiap teks diturunkan (ditulis) dapat bervariasi, dan perbedaan teks adalah bukti dari berbagai pelaksanaan penurunan dan perkembangan cerita sepanjang hidup pengarang.
2.    Aslinya adalah teks tertulis kurang lebih merupakan kerangka yang masih memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni.
3.    Aslinya merupakan teks yang tidak memungkinkan untuk diadakan penyempurnaan karena pengarangnya telah menentukan pilihan kata yang ketat dalam bentuk literer. Hal ini pada zaman sekarang yang sudah ada mesin fotocopi tidak begitu merupan kendala, tetapi pada zaman dulu sebuah naskah diperbanyak dengan cara menulis ulang dengan tangan dan resiko kesalahan sangat dimungkinkan. Beberapa kesalahan disebabkan antara lain; penyalin kurang memahami bahasa atau pokok persoalan naskah yang disalin, atau mungkin karena tulisannya kurang jelas (kabur/buram), atau karena ketidak telitian penyalin sehingga beberapa huruf hilang (haplografi).[11]
Sedangkan secara rinci dapat dikatakan bahwa filologi mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus, di antaranya adalah:
Tujuan umum:
1.        Memahami sejauh mana perkembangan suatu bangsa melalui sastranya, baik tulisan maupun lisan.
2.        Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya.
3.        Mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan.
 Tujuan khusus:
1.        Menyunting sebuah teks yang dipandang dekat dengan teks aslinya.
2.        Mengungkapkan sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya.
3.        Mengungkapkan persepsi pembaca pada setiap kurun atau zaman penerimaannya.[12]
Sedangkan kegunaan dari hasil penelitian filologi adalah sebagai suatu informasi yang sangat berharga bagi khalayak umum dan dapat digunakan oleh cabang-cabang ilmu lain, seperti sejarah, hukum, agama, kebahasaan, kebudayaan. Nabilah Lubis yang mengutip perkataan Haryati Soebadio bahwa filologi adalah pekerjaan kasar yang menyiapkan suatu naskah untuk bisa dipergunakan oleh orang lain dalam berbagai disiplin ilmu. Jadi hasil dari penelitian naskah merupakan sumbangan pemikiran yang sangat berarti, terlebih dalam rangka memperkenalkan buah pikiran para pendahulu, sehingga dapat di kenal dan diketahui oleh generasi berikutnya.
Namun dalam sebuah catatan, kajian filologi ini mempunyai kompleksitas dalam penggunaan teks sastra sebagai kajian sumber sejarah, misalnya pandangan yang diungkapkan oleh P. E. de Josselin de Jong, ketika membahas ciri Sejarah Melayu. Dia mencontohkan Salasilah Kutai sebagai teks sejarah Melayu yang mengandung fungsi takhayul sebagai pemelihara mitos negara yang dipakai dalam ritual negara. Akan tetapi, dia juga menunjukkan perbedaan ciri antara historiografi Jawa dan Sedjarah Melaju. Menurutnya, atmosfer Sejarah Melayu lebih realistik. Meskipun demikian, eksposisi Jong, menurut Ras, secara implisit menyatakan bahwa sebaiknya Sedjarah Melaju diklasifikasikan bersama teks-teks Jawa modern seperti Babad Tanah Djawi dari pada dengan teks-teks Jawa Kuno dari masa Hindu. Jika hal ini diterima sebagai sesuatu yang pada dasarnya benar, tetap masih ada persoalan apakah bagian dari Sedjarah Melaju yang berhubungan dengan mitos masa lalu ditulis oleh pengarang yang sama dengan bagian-bagian yang berhubungan dengan perkembangannya yang kemudian.[13] 




C.           Metode-Metode Penelitian Teks
Metode dapat dipahami sebagai cara atau sistem kerja. Sedangkan metologi dapat dikatan sebagai pengetahuan tentang apa saja yang merupakan cara untuk menrangkan atau meramalkan variabel konsep maupun definisi konsep yang bersangkutan dan mencari konsep tersebut secara empiris. Maka metode filologi dapat diartikan pengetahuan tentang cara, teknik, atau instrumen yang dilakukan dalam penelitian filologi. Mengacu pada pekerjaan utama seorang filolog yang berusaha mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan dan memberikan pengertian dengan sebaik-baiknya dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai naskah yang paling dekat dengan aslinya, maka ada beberapa metode untuk mengedit dan menyunting naskah klasik agar tugas tersebut dapat terlaksana dengan baik. Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam hal ini adalah:
1.        Inventarisasi naskah
Langkah pertama yang harus ditempuh oleh penyunting setelah menemukan pilihan terhadap naskah yang ingin disunting adalah menginventarisasikan sejumlah naskah dengan judul yang sama dimana pun berada tanpa terkecuali. Naskah dapat dicari melalui katalogus perpustakaan-perpustakaan besar yang menyimpan koleksi naskah, museum-museum, universitas-universitas, masjid, gereja, dan lain sebagainya.
2.        Deskripsi naskah
Langkah selanjutnya adalah menyusun deskripsi masing-masing naskah. Jadi setiap naskah yang diperoleh diuraikan secara terinci, teratur, dan masing-masing naskah diberi tanda/kode.
3.        Pengelompokan naskah dan perbandingan teks
Dalam melakukan pengelompokan naskah, proses awal yang harus dilakukan adalah mengadakan penelitian yang cukup mendalam sehingga dapat diketahui hubungan antar varian, perbedaan, persamaan, dan hubungan antar berbagai naskah yang ada. Proses penelitian yang dilakukan pra pengelompokan naskah dapat dikerjakan dengan mengadakan kritik teks, baik kritik internal atau eksternal. Langakh selanjutnya adalah mengadakan perbandingan teks untuk mengetahui apakah ada perbedaan bacaan di antara semua naskah.
Beberapa cara yang dilakaukan dalam melakukan perbandingan adalah:
a.    Membandingkan kata demi kata untuk membetulakan kata-kata yang salah
b.    Membandingkan susunan kalaimat atau gaya bahasa untuk mengelompokkan cerita atau teks yang berbahasa lancar dan jelas
c.    Membandingkan isi cerita (uraian teks) untuk mendapatkan naskah yang isinya lengkap dan tidak menyimpang serta untuk menentukan hubungan antar naskah, minimal peneliti harus mengetahui mana teks yang asli dan mana teks yang ada unsur tambahan dari penyalin.
Setelah melakukan beberapa perbandingan di atas, maka selanjutnya peneliti memilih salah satu naskah yang telah diperiksa dan dibandingkan untuk dijadikan sebagai landasan dalam edisi.
4.        Transliterasi
Transliterasi ialah penggantian huruf atau pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain, misalnya dari huruf Arab-Melayu ke huruf Latin. Dapat juga berarti perubahan teks dari satu ejaan ke ejaan yang lainnya, misalnya naskah-naskah yang tertulis dengan huruf Latin yang memakai ejaan lama diubah ejaan yang belaku sekarang (EYD). Namun tidak hanya itu saja tugas dari seorang filolog agar tidak lagi terdapat kekeliruan dalam membaca dan menafsirkan naskah, tetapi juga harus mampu menyajikan bahan transliterasi atau transkip dengan selengkap dan sebaik mungkin, seperti tanda baca titik, koma, huruf besar dan kecil, dan lain sebagainya.
5.        Terjemahan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menerjemahkan teks, di antaranya adalah:
a.    Terjemahan harfiyah, adalah menerjemahkan dengan menuruti teks sedapat mungkin, yang meliputi kata demi kata.
b.    Terjemahan agak bebas, adalah seorang penerjemah diberi kebebasan dalam proses penerjemahannya, tetapi kebebasannya masih pada batas kewajaran.
c.    Terjemahan yang sangat bebas,  adalah penerjemah bebas melakukan perubahan, baik menghilangkan bagian, menambah, atau meringkas teks.
6.        Metode intuitif
Penyalinan berulang kali terhadap teks mengakibatkan terjadinya beberapa naskah yang beraneka ragam. Di Eropa Barat untuk mengetahui bentuk asli dari karya-karya itu, dilakukan langkah mengambil suatu naskah yang dipandang baik dan dianggap yang paling tua lalu disalin lagi. Dalam penyalinannya, pada tempat-tempat yang tidak jelas atau diperkirakan terdapat kesalahan pada naskah, segera dibetulkan berdasarkan naskah lain dengan pertimbangan akal sehat, selera baik, dan pengetahuan bahasa maupun disiplin ilmu yang menjadi pokok bahasan naskah tersebut. metode ini bertahan sampai abad ke 19 M, sebelum akhirnya muncul metode objektif.
7.        Metode objektif
Metode ini bertujuan mendekati teks asli melalui data-data naskah dengan memakai perbandingan teks.
8.        Metode gabungan
Metode ini dipakai apabila nilai naskah menurut dugaan filologi semuanya hampir sama. Pada umumnya naskah yang terpilih adalah yang mempunyai bacaan mayoritas atas dasar perkiraan bahwa jumlah naskah itu merupakan saksi bacaan yang benar. Dengan metode ini, teks yang disunting merupakan teks baru dan gabungan dari semua naskah yang ada.
9.        Metode landasan
Metode ini diterapkan apabila menurut tafsiran ada beberapa naskah yang unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah-naskah yang lain. Hal ini dapat diketahui apabila diadakan penelitian yang cermat terhadap bahasa, kesastraan, sejarah, dan segala hal tentang teks.
10.    Metode analisis struktur
Analisis struktural terhadap sebuah karya bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin keterkaitan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.
11.    Metode penelitian naskah tunggal
Apabila peneliti hanya menemukan satu naskah untuk teks yang akan diedit, maka hanya ada dua pilihan, yaitu: melakukan edit diplomatik (suatu cara mereproduksi teks sebagaimana adanya tanpa ada perbaikan atau perubahan dari editor), atau melakukanedit standar (suatu usaha perbaikan dan meluruskan teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimangan yang timbul ketika proses penulisan).

D.           Pendekatan Filologi dalam Studi Islam
Az-Zamakhsyari, sebagaimana dikutip Nabilah Lubis, mengungkapkan kegiatan filologi sebagai tahqiq al-kutub. Secara bahasa, tahqiq berarti tashhih (membenarkan/mengkoreksi) dan ihkam (meluruskan). Sedang secara istilah, tahqiq berarti menjadikan teks yang ditahkik sesuai dengan harapan pengarangnya, baik bahasanya maupun maknanya. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa tahqiq bertujuan untuk menghadirkan kembali teks yang bebas dari kesalahan-kesalahan dan sesuai dengan harapan penulisnya. Tahqiq sebuah teks atau nash adalah melihat sejauh mana hakikat yang sesungguhnya terkandung dalam teks tersebut.
Bangsa Arab pra-Islam dikenal dengan karya-karya syair maupun sastra prosanya. Karya yang paling terkenal adalah “Muallaqat” (berarti “yang tergantung), karya-karya yang berupa qasidah-qasidah panjang dan bagus yang digantungkan pada dinding Ka’bah dengan tujuan agar dibaca masyarakat Arab pada hari-hari pasar dan keramaian lainnya.
Penelitian naskah Arab telah lama dimulai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Pada masa itu, nash al-Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf. Hal ini membutuhkan ketelitian untuk menyalin teks-teks al-Quran ke dalam mushaf tersebut. Ayat-ayat al-Quran yang sebelumnya tertulis secara berserakan pada tulang belulang, kulit pohon, batu, kulit binatang, dan sebagainya dipindah dan disalin pada sebuah mushaf dan dijadikan satu. Pekerjaan menyalin ayat-ayat al-Quran ini dilaksanakan dengan ketelitian menyangkut orisinalitas wahyu ilahy yang harus senantiasa dijaga.
Setelah Islam tumbuh dan berkembang di Spanyol pada abad ke-8 Masehi sampai abad ke-15 Masehi, pada zaman Dinasti Bani Umayyah ilmu pengetahuan Yunani yang telah diterima bangsa Arab kemudian kembali ke Eropa dengan epistemologi Islam. Puncak kemajuan karya sastra Islam ini mengalami kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Karya tulis al-Ghazali, Fariduddin Attar, dan lainnya yang bernuansa mistik berkembang maju di wilayah Persia dan dunia Islam. Karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan yang lain menjadi rujukan wajib mahasiswa dan merupakan lapangan penelitian yang menarik pelajar di Eropa.
Dalam konteks keindonesiaan, manuskrip Islam terbagi ke dalam tiga jenis. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Ketiga, manuskrip Pegon, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Manuskrip keislaman di Indonesia lebih banyak berkaitan dengan ajaran tasawuf, seperti karya Hamzah Fansuri, Syeh Nuruddin ar-Raniri, Syeh Abdul Rauf al-Singkili, dan Syeh Yusuf al-Makassari. Tidak sedikit pula yang membahas tentang studi al-Quran, tafsir, qiraah dan hadis. Misalnya Syeh Nawawi Banten dengan tafsir Marah Labib dan kitab Al-Adzkar. Ada pula Syeh Mahfudz Termas dengan Ghunyah at-Thalabah fi Syarh ath-Thayyibah, al-Badr al Munir fi Qiraah Ibn Katsir dan karya-karyanya yang lain. Sebagian karya-karya tersebut sudah ditahqiq, dalam proses tahqiq, dan dicetak tanpa tahqiq .Sementara sebagian besar lainnya masih berupa manuskrip. Padahal umumnya, karya kedua tokoh ini juga menjadi rujukan dunia Islam, tidak hanya di Indonesia.
Menilik dari sangat banyaknya khazanah klasik yang ada di Nusantara, merupakan sebuah pekerjaan besar untuk mentahqiq kitab-kitab peninggalan ulama klasik tersebut.


BAB III
PENUTUP
A.           Simpulan
Filologi merupakan kajian penelitian yang terbilang belum familiar di Indonesia, namun disiplin pendekatan penelitian filologi penting keberadaannya untuk mengjaji teks-teks kuno. Filologi sebagai sebuah istilah telah dikenal sejak abad ke 3 sebelum masehi oleh sekelompok ilmuan di Iskandariah.
Dalam perkembangannya, kajian filologi menitikberatkan pada perbedan yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat perbedaan-perbedaan sebagai alternatif yang positif.
B.            Saran
Kajian filologi di Indonesia belum banyak diketahui dan dipakai banyak orang, untuk itu ke depan mudah-mudahan praktisi-praktisi dan lembaga pendidikan serta praktisi peneliti hendaknya memasyarakatkan pendekatan penelitian filologi tersebut.





                [1] Achadiati Ikram, Filologia Nusantara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), h. 1
                [2] Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi(Jakarta:Yayasan Media Alo Indonesia, 2007), h.16
                      [3] http://journal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/download/diakses pada 08 Maret 2016.
                [4] Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian..., hlm 53
                [5] Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi 1.1, (freeware, 2010).
                [6] Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007), hlm. 18.
                [7] http://peternggili-pedrozhaqoutez.blogspot.co.id/2013/11/filologi-dan-sastra-klasik.html, diakses pada tanggal 08 Maret 2016
                [8] Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode..., hlm. 22-23
[9] Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan pada Pasal 1 Ayat 4, bahwa naskah kuno adalah semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun diluar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah dan ilmu pengetahuan.
Blasius Sudarsono, menyoroti pengertian Naskah kuno adalah darah kehidupan sejarah, naskah tulisan tangan ini dapat dianggap sebagai salah satu representative dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan paling otentik dalam memberikan berbagai informasi sejarah pada masa tertentu. Naskah kuno merupakan salah satu warisan budaya bangsa diantara berbagai artefak lainnya, yang kandungan isinya mencerminkan berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat serta perilaku masyarakat masa lalu. Ditemukannya naskah kuno membuktikan perkembangan budaya literasi yang menjadi representasi dari berbagai sumber paling otentik dalam memberikan berbagai informasi sejarah pada masa tertentu. (Lihat: Blasius Sudarsono, Perpustakaan Cinta dan Teknologi (Jakarta : ISIPII, 2009, hlm.13)

                [10] U. Maman Kh. et.al, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 108.
                [11] U. Maman Kh. et.al, Metodologi Penelitian Agama..., hlm. 109-110.
                [12] Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode..., 26-27.
                [13] Sainul Hermawan,  Kompleksitas penggunaan  Teks sastra sebagai sumber kajian sejarah Catatan dari kajian hikajat  bandjar  j. J. Ras, Journal Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

No comments:

Post a Comment

Adbox