Breaking

Friday, January 8, 2016

Makalah Dinasti Mamalik dan Fatimiyyah

BAB I

PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang menyatakan dirinya sebagai keturunan langsung Hadrat Ali dan Fatimyah dari Isma’il, anak Jafar Shiddiq, keturunan ke enam dari Ali ibn Abi Thalib. Nama dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Az-Zahrah  putri Nabi Muhammad SAW[1]. Dinasti ini tergolong ke dalam pengikut Syi’ah Isma’iliyah.[2]
Pada tahun 860, kelompok Isma’iliyah pindah ke daerah Salamiyah, dan di sinilah mereka membuat kekuatan dengan gerakan propagandis dengan tokohnya yang bernama Sa’id ibn Husayn. Dengan cara rahasia, gerakan ini menyusupkan utusan-utusan ke daerah-daerah muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan doktrin Ismailiyah kepada rakyat. Cara inilah kemudian menjadi landasan pertama kemunculan Dinasti Fatimiyah.
Kebangkitan Dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyyah) ketika Dinasti Abbasiah di baghdad mulai melemah. Dinasti Fatimiyah ini adalah salah satu dinasti Islam yang beraliran Syi’ah[3] Isma’iliyah yang lahir di Afrika utara pada tahun 909 M setelah mengalahkan Dinasti Aghlabiyah di Sijilmasa.
Dalam sejarah, kejayaan Dinasti Fatimiyah datang setelah pusat kekuasaanya dipindahkan dari tunisia (al-Mahadiah) ke Mesir. Kekhalifahan Fatimiyah lahir sebagai manisfestasi dari idealisme orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan dari Fatimah binti Rosulullah. Kekhalifahan ini lahir di antara dua kekuatan politik kekhalifahan, Abbasiah di Baghdad, dan Umayyah II di Cordova.
Pada fase lain, ada sebuah Dinasti Mamalik, yang merupakan sebuah kumpulan dari beberapa resimen budak. System pengambilan calon tentara dari budak non muslim  Turkistan, Yunani dibawah umur. Ditanamkan pendidikan kepada para budak untuk setia dan patuh kepada pimpinan. Dengan kata lain Dinasti Mamalik berawal dari bangsa mamluk yang berasal dari hamba sahaya yang dibeli oleh khalifah Bani Ayyub. Selanjutnya mereka dibawa ke Mesir dan ditanamkan pendidikan militer. Di mesir terdapat dua golongan Mamalik yang besar, yaitu Mamalik Bahriah dan Mamalik Burjiayah. Dinasti Mamalik lahir di saat terjadinya awal kehancuran Islam dan konflik politik secara menyeluruh. Kata Mamluk artinya hamba yang dimiliki Sultan Ayyubiah yang membeli Sultan-Sultan Mamluk di Mesir dan dijadikan sebagai pengawal-pengawalnya, budak-budak tersebut diutamakan seorang pria yang berkulit putih yang ditangkap saat terjadinya peperangan. Pada masa penguasaan ini, mereka mendapatkan fasilitas dan karir kemiliteran yang sangat berlimpah. Pada umumnya, mereka berasal dari daerah Kaukasus dan laut Kasfia. Di Mesir mereka ditempatkan di pulau Raudhah di sungai Nil untuk dilatih militer dan keagamaan. Dari sinilah mereka mendapatkan julukan Mamluk Bhahri (laut). Hingga pada akhirnya Mamalik menjadi sebuah dinasti yang turut mewrnai sejarah perkembangan Islam hingga saat ini.
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat tentang dinasti Fatimyah maupun dinasti Mamamlik yang telah menyumbangkan banyak hal, baik positif maupun negatif dan tentunya dinasti ini tidak lepas dari sejarah islam yang turut mewarnai perkembangannya hingga hari ini.



B.            Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, yang menjadi rumusan masalah adalah:
1.      Dinasti Fatimiyah
a.       Kapan munculnya dinasti Fatimiyah?
b.      Apa kemajuan Dinasti Fatimiyah?
c.       Kapan kemunduran Dinasti Fatimiyah terjadi dan apa penyebabnya?
d.      Siapa saja yang menjadi Khalifah dari Dinasti Fatimiyah?
2.      Dinasti Mamalik
a.       Kapan Dinasti Mamamlik muncul?
b.      Seperti apa pemerintahan Dinasti Mamalik?
c.       Siapa saja penguasa Mamalik?
d.      Sepertia apa kemajuan Dinasti Mamamlik?
e.       Seperti Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Mamalik?



BAB II

PEMBAHASAN


A.           Lahirnya Dinasti Fatimiyyah

Kekhalifahan Dinasti Fatimiyah lahir sebagai manifestasi dari idealisme orang-orang syi’ah, yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan dari Fatimah Binti Rosulullah SAW. Sebenarnya sekte syi’ah sudah lama mendambakan dan mencita-citakan berdirinya kekhalifahan yaitu sejak memudarnya kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, namun mereka selalu mendapatkan tekanan politik dari dinasti Umayyah dan Abbasiyah sehingga salah satu cara yang dilakukannya adalah taqiyah, yaitu taat kepada penguasa secara lahiriyah akan tetapi menyusun kekuatan secara diam-diam.[4]
Sukses gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M., dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-Imam Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah sebagai pusat ibu kota. Ibrahim Ahmad Adawi dalam bukuhya Tarikh al-‘Alam al-Islami   yang dikutip oleh Abdul Gaffar menjelaskan Raqadah terletak 10 mil dari wilayah qairawan Tunisia (Afrika Utara). Namun karena Raqadah terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu qairawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, sekitar 16 mil arah tenggara Raqadah pada tahun 915. Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah berdiri di Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa.[5]
Bosworth dalam bukunya Dinasti-dinasti Islam menjelaskan khalifah pertama Fathimiyah, Ubaydillah, datang dari Suriah ke Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum Berber Ketama, dia menumbangkan gubernur-gubernur Aghlabiyyah di Iffriqiyah dan Rustamiyah.[6]
Menurut M. Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam menjelaskan bahwa dinasti Aghlabiah berdiri pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid ketika dia mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah (Tunisia) pada tahun 800 M secara independen dengan gelar amir. untuk membendung kekuatan luar yang ingin melemahkan dinasti Abbasiyah, terutama dinasti Rustamiah (khawarij) dan Idrisiah. Kemudian pada tahun 909 M. Dinasti Aghlabiah yang dipimpin oleh Ziadatullah al-Aghlabiah III dilenyapkan oleh dinasti Fatimiah.
Tentang asal-usul Sa’id, para sejarawan berbeda pendapat, Ibnu al Atsir, Ibnu Khaldun, Makrizi dan banyak lainnya menyatakan bahwa ia adalah keturunan dari Fatimah, sedangkan Ibnu Khalikan, Ibnu Ijari, Suyuti, dan Ibnu Taghribirdi menolaknya sebagai keturunan Fatimah. Menurut Saunders, tidak seorangpun yang dapat melacak asal-usulnya secara memuaskan. Hal itu dikarenakan oleh model gerakan Syi’ah yang di bawah tanah atau secara dia-diam, sehingga susah dilacak.
Sepeninggal Ubaidillah Al Mahdi (909-934 M), kemudian Al-Qaim naik tahta pada (934-946 M), setelah itu digantikan oleh al-Mansyur pada taahun 946-952 M. Kemudian pada masa khalifah ke IV, yakni Muiz li Dinillah pada tahun 952-975 M, Kekhalifahan Fatimiyah memasuki era baru.[7] Pada masa Mu’iz ini, Kekhalifahan Fatimah menaklukan Mesir karena Mesir terkenal daerah yang makmur dan penduduknya dapat menerima berbagai aliran mazhab dengan alasan melindungi kaum Syi’ah yang ada di sana.
Pada masa Mu’iz inilah puncak kejayaan Kekhalifahan Fatimiyah terukir dan Kairo resmi dijadikan sebagai pusat pemerintahan.

1.        Kemajuan dinasti Fatimiyah

Kemajuan-kemajuan yang dialami dinasti Fatimyah antara lain:
a.       Bidang pemerintahan.
Membangun tata keloa pemerintahan yang ideal dan baik dan tergolong baru. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana dinasti Fatimiyah menyusun struktur pengurus pemerintahan berdasarkan kebutuhan, misalnya adanya tata politik, keuangan, tata administrasi, tata kemiliteran, tata kepolisian, tata peradilan, departemen kemakmuran, dan urusan perhubunngan. Pemerintahan ini juga membentuk menteri-menteri untuk memimpin suatu daerah dan bertanggungjawab kepada khalifah.
b.      Filsafat
Dinasti Fatimiyah dalam menyebarkan paham Syi’ah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles, dan ahli filsafat lainnya. Kelompok filsafat yang paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah adalah Ikhwan al-Shafa.[8]
c.       Keilmuan dan Kesustraan
Pada masa dinasti Fatimiyah terdapat seorang ilmuwan yang sangat terkenal yaitu Ya’qub Idn Killis, yang berhasil membangun akademi-akademi keilmuan dan menghasilkan ahli fisika, ahli sejarah dan ahli sastra. Kemajuan yang paling fundamental adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Dar al-Hikam, banguna  ini dibangun khusus untuk propaganda doktrin Syi’ah, pada masa ini pula terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku yang menjadi bukti majunya keilmuan pada masa dinasti Fatimiyah.
d.      Bidang ekonomi sosial
Berkat aturan-aturan yang dibuat sedemikian untuk kemakmuran, akhirnya dinasti Fatimiyah pada zaman Mu’iz ini tercipta kehidupan yang sangat makmur. Hal ini ditandai dengan missalnya terjadinya komoditas ekspor-inpor antara Eropa dan Asia, harga barang-barang murah dan keadaan rakyat sangat bahagia. Pada sisi lain juga ditandai dengan toko perhiasan dan money charger yang dibiarkan tidak terkunci. Kemakmuran juga ditandai dengan dibangunnya gedung enam tingkat sebagai kantor khalifah.
e.       Daerah kekuasaan yang cukup luas dan pengelolaan yang rapi
Ini dilihat dari daerah kekuasaannya dari al Maghrib sampai Mesir, kemudian sampai ke Syam, Palestina, Hijaz serta Yaman.
Dari luansya daerah tersebut, Dinasti Fatimiyah membagi wilayah kekuasaan menjadi empat bagian, yaitu wilayah Qus yang meliputi Mesir. Wilayah timur meliputi daerah Bilbis, Qoliub dan Asyumm, wilayah barat meliputi Manup dan Abyar, wilayah Iskandariah yaitu meliputi pesisir laut tengah.
f.       Tata pengelolaan tanah/pertanian yang baik
Pemerintahan ini membangun infrastruktur untuk kelancaran hasil pertanian, selain itu juga membentuk atauran-aturan pertanahan yang toleran terhadap petani[9] serta membuat aturan penggunaan air.[10]
g.      Kairo menjadi pusat perindustrian tenun.
Pada masa ini, perindustrian tenun sangat terkenal dan diekspor ke Persia. Pada masa ini juga dibuat aturan-aturan untuk melindungi para pelaku industri dari hidup bermewah-mewah yang pada saat itu merata.
h.      Dibangunnya sebuah Universitas ternama
Pada masa Khalifah al-Aziz (976-996 M), Masjid Al-Azhar mengalami perubahan mendasar, yakni berkembang menjadi Universitas yang sangat terkenal hingga saat ini. Masjid al-Azhar juga dijadikan pusat kebudayaan dan hingga akhirnya juga mendirikan akademi kebudayaan.

2.        Kemunduran dan Kehancuran

Dinasti Fatimiyah  di Mesir mulai mengalami kemunduran ketika Bani Saljuk bersama pasukannya datang ke Baghdad dan mengusir keluarga Buwaihi[11] bahkan akhirnya menangkap tokohnya yang bernama al-Bassasiri. Dinasti ini tidak dapat memberikan pertolongan , hingga akhirnya kemundurannya itu membawa dinasti ke gerbang kehancurannya.
Faktor yang mempengaruhi kemunduran antara lain:
a.       Paham atau doktrin Isma’iliyah yang menekankan terhadap keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan, paham ini belum dapat diterima sepenuhnya oleh sebagian besar masyarakat yang berpaham Sunni.  Apalagi sejak kebangkitan Sunni pada abad ke 11-12 Masehi, paham Syi’ah ini banyak ditinggalkan oleh Masyarakat Islam.
b.      Kesulitan melakukan pengawasan terhaap daerah-daerah yang telah dikuasainya, seperti daerah besar Mesir, Syiria, dan Palestina. Hal ini menyebabkan pemberontakan seperti yang dilakukan keluarga Tayyi dan Pasukan Jarahid yang terus bergolak di Palestina dan kelompok Qaramithah di Syiria.
c.       Perekrutan tentara dari budak sehingga menimbulkan konflik karena adanya friksi (perbedaan pendapat/pergeseran) dalam tubuh militer ketika dari mereka masing-masing merasa kuat. Selain itu juga ada budak yang menjadi tentara berkulit hitam dari negeri Sudan yang tidak mau kalah dengan pendahulunya.
d.      Peraturan dan sikap yang aneh pada masa Khalifah al-Hakim
Misalnya pada masa ini ada dekrit yang mengharuskan aktivitas negeri boleh ada pada malam hari (dibuka pada maghrib hingga subuh)[12], dan pada siang hari dipakai untuk istirahat.
Pada sisi lain, sikap aneh penyebab kemunduran dinasti Fatimiyah pada masa ini adalah adanya pembakaran dan penghancuran gereja, serta larangan bagi warga muslim berpakaian Yahudi dan Kristen. Sikap inilah yang menjadikan masyarakatnya antipati dan kewibawaan Khalifah menjadi menurun.
e.       Adanya perselisihan antara jendral dan wazir yang membawa kekacauan cukup parah, adanya wabah penyakit, kelaparan dan gagal panen pada masa khalifah al-Muntashir (1036 M-1094 M)
f.       Penggantian Wazir/perdana menteri Afdhal yang tidak berdasarkan keputusan awal pada saat al-Muntashir berkuasa hinggga menimbulkan pertikaian-pertikaian berkelanjutan[13]
g.      Adanya konspirasi, perselisihan dan dendam berkelanjutan antara generasi wazir.
Kejadian yang menonjol yakni pada saat Sawal menjadi Wazir, dia melakukan konspirasi dengan Meric setelah menghianati Janggi. Tindakan inilah membawa kehancuran bagi Dinasti Fatimiyah dan akhhirnya tentara Salib menguasai Mesir. Kemudian pada tahun 1169 Syirkuh dapat merebut Mesir, setelah Syirkuh meninggal, kemudian digantikan oleh Ayyubi yang berideologi Sunni. Pada tahun 1171 M, Ayyubi menghapuskan kekhalifahan Fatimiyah atas desakan Baghdad dan menggantikannya dengan Dinasti Ayyubiyah, maka berakhirlah riwayat Fatimiyah.
Dalam perjalanannya, selama berkuasa selama 200 tahun, Dinasti Fatimyah dipimpin oleh 14 Khalifah, tetapi yang terlihat menonjol berperan adalah hanya 8 Khalifah[14]:
1.             Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi (909-934), pendiri Dinasti Fatimiyah.
2.             Abu al-Qasim Muhammad al-Qa’im bi Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
3.             Isma’il al-Mansur bi-llah (946-952).
4.             Abu Tamim Ma’add al-Mu’iz li-Din Allah (952 M – 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
5.             Abu Mansur Nizar al-‘Aziz bi-llah (975 M – 996 M).
6.             Abu ‘Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M – 1021 M).
7.             Abu’l-Hasan ‘Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah (1021 M – 1036 M).
8.             Abu Tamim Ma’add al-Mustanhir bi-llah (1036 M – 1094 M).
9.             Al-Musta’li bi-Allah (1094 M-1101 M).
10.         Al-Amir bi Ahkam Allah (1101 M – 1130 M)
11.         Abd al-Majid (1130 M – 1149 M).
12.         Al-Wafir (1149 M – 1154 M).
13.         Al-Fa’iz (1154 M – 1160 M).
14.         Al-‘Adid (1160 M – 1171 M).

B.            Dinasti Mamalik

1.        Munculnya Dinasti Mamalik

Kata Mamluk berarti budak atau hamba yang dibeli dan dididik dengan sengaja agar manjadi tentara dan pegawai pemerintah. Seorang Mamluk berasal dari ibu-bapak yang merdeka (bukan budak atau hamba)[15]. Ini berbeda dengan ‘abd yang berarti hamba sahaya yang dilahirkan oleh ibu-bapak yang juga berstatus sebagai hamba dan kemudian dijual. Perbedaan lain adalah Mamluk berkulit putih, sedangkan ‘abd berkulit hitam. Sebagian Mamluk berasal dari Mesir, dari golongan hamba yang dimiliki oleh para sultan dan amir pada masa kesultanan Bani Ayub. Mamluk Dinasti Ayubi’yah berasaldari Asia kecil, Persia (Iran), Turkistan, dan Asia Tengah (Transoksiana). Mereka terdiri atas suku-suku Bangsa Turki, Syracuse, Sum, Rusia, kurdi, dan bagian kecil dari bangsa Eropa. Mamluk sultan yang berkuasa merupakan gabungan para Mamluk sultan-sultan sebelumnya, yakni Mamluk para amir yang disingkirkan atau meninggal dunia.
Mamalik adalah bentuk jamak dari Mamluk yang berarti budak. Dinasti Mamlik memang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dilatih kemiliter untuk dijadikan tentarnya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, Al-Malik Al-Shalih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasannya. Pada masa penguasaan ini, mereka mendapatkan fasilitas dan karir kemiliteran yang sangat berlimpah. Pada umumnya, mereka berasal dari daerah Kaukasus dan laut Kasfia. Di Mesir mereka ditempatkan di pulau Raudhah di sungai Nil untuk dilatih militer dan keagamaan. Dari sinilah mereka mendapatkan julukan Mamluk Bhahri (laut). Saingan mereka dalam karir militer adalah suku kurdi.
Ketika al-Malik al-Salih meninggal (1249 M), anaknya, Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada tahun 1250 M Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Istri al-Malik al-Salih, Syajarah al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu. Kepemimpinan Syajaruh al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai Sultan "syar'i" (formal) disamping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.

2.        Sistem Pemerintahan

Pemerintahan Mamalik bersifat Oligarki Militer dan tidak menerapkan system turun temurun. Tokoh militer yang menonjol dan berprestasilah yang dipilih sebagai Sultan. Menurut Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, bila system pemerintahan turun temurun diterapkan maka rasa keadilan yang telah mengikat keutuhan solidaritas kalangan Mamalik dengan sendirinya kan menjadi rusak dan menyebabkan terjadinya disintegrasi dikalangan mereka. Selain itu system monarkhi akan menghilangkan kesempatan bagi tokoh Mamalik lainnya yang mampu untuk memegang tampuk pemerintahan. Faktor inilah yang menyebabkan kekuasaan Mamalik bertahan lama. Pada masa Mamalik terdapat kompromi antara fungsisultan dan khalifah, dengan demikian, pada masa ini berhasil dihindarkan adanya pergesekan pengaruh antara para khalifah Abbasiyah dan para sultan dinasti Mamalik. Hal ini disebabkan adanya kepastian mengenai wewenang masing-masing. Khalifah menangani urusan keagamaan (spiritual) dan Sultan Mamalik menangani semua urusan keduniaan.
Kekuasaan eksekutif, selain dijalankan oleh kelompok elit militer, secara umum dilaksanakan oleh empat macam lembaga administrasi pemerintahan Dinasti Mamalik, yaitu diwan al-jaisy, diwan al-insya, diwan al-ahbas, dan diwan an-nazar. Diwan al-jaisy adalah lembaga Negara yang mengurusi masalah penataan dan administrasi militer. Mungkin dimasa sekarang setara dengan departemen pertahanan. Diwan al-insya adalah lembaga sekertariat Negara yang mengurusi administrasi surat menyurat. Diwan al-ahbas adalah lembaga yang menangani masalah perwakafan dikedua wilayah, Mesir dan Syam. Lembaga ini dapat disetarakan dengan departemen keuangan dan perwakafan. Diwan an-nazar adalah lembaga yang nmengurusi pendapatan dan belanja Negara, seperti departemen keuangan kini. Kantornya disebut Bait al-mal. Pejabatnya disebut nazir al-mal. Pendapatan baitul mal umumnya diperoleh dari pajak bumi dan lahan pertanian.

3.        Para Penguasa Mamalik

Ketika Al-Malik Al-Shalih meninggal (1249 M) dan kemudian digantikan oleh puteranya yaitu Turan Syah, naik tahta sebagai sultan. Golongan Mamalik merasa terancam dengan kedudukan Turan Syah karena lebih dekat kepada tentara asal Kurdi. Maka pada tahun 1250 M di bawah pimpinan Aybak dan Barbas, Mamalik berhasil membunuh Turan Syah. Istri Al-Malik Al-Shalih, Syajarah Al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik.
Kepemimpinan Syajarah Al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian menikah dengan tokoh Mamalik bernama Aybak dan berharap banyak padanya serta menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat berkuasa dibelakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajarah Al-Durr dan mengambil kendali pemerintahan sepenuhnya. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai Sultan “Syar’i” (formal) disamping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.
Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M), setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang mengasingkan diri ke Syiria, karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hamper seluruh dunia islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut dan  pada tanggal 13 september 1260 M, tentara Mamalik dibawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat islam disekitarnya. Penguasa-penguasa Syiria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik.
Tidak lama setelah itu, Qutuz meninggal dunia. Baybars, seorang pemimpin militer yang tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan (1260-1277 M). Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur diantara 47 Sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik. Sejarah dinasti yang berlangsung sampai 1517 M, ketika dikalahkan oleh kerajaaan Usmani, dibagi menjadi dua periode. Pertama, periode kekuasaan Mamalik Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M, dan kedua, periode kekuasaan Mamalik Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M.

4.        Kemajuan Peradaban Dinasti Mamalik

Kemajuan yang dicapai selama peradaban dinasti Mamalik antara lain :
a)        Bidang pemerintahan
Kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongol di ‘Ayn Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daaerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan negeri ini, Baybars mengangkat kelompok elit militer. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan islam lainnya, Baybars membaiat keterunan Bani Abbas terhadap al-Mustanshir sebagai khalifah. Ia adalah khalifah Abbasyiah Bagdad yang melarikan diri ke Syiria dari serangan bangsa Mongol.
Dengan demikian, khalaifah Abassiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulago di Baghdad berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepangjang Laut Tengah, Assasin dipegunungan Syiria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia) dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.
b)        Bidang Ekonomi
Dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangannya yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Disamping itu, pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi anatarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu perekonomiannya.
c)        Bidang Ilmu Pengetahuan
Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi, dan Ibn Khuldun. Dibidang astronomi dikenal nama Nasir Al-Din Al-Tusi. Dibidang matematika, Abu Al-Faraj Al- ‘Ibry.
Dalam bidang kedokteran, Abu Al-Hasan ‘Ali Al-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia. Abd Al-Mun’im Al-Dimyathi, seorang dokter hewan, dan Al-Razi, Perintis psikoterapi. Dalam bidang opthamologi dikenal nama Salah Al-Din ibn Yusuf. Sedangkan, dalam bidang keagamaan, tersohor nama Ibn Taimiyah, seorang pemikir reformis dalam islam. Al-Sayuthi yang menguasai banyak ilmu keagamaan., Ibn Hajar Al-‘Asqalani dalam ilmu hadis dan lain-lain.

d)        Bidang Arsitektur
Dinasti Mamalik juga mengalami banyak kemajuan dibidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan dari Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini diantaranya adalah, rumah sakit, museum, perpustakaan, vila-vila, kubah, dan menara masjid.
Kemajuan-kemajuan itu tercapai berkat keperibadian dan wibawa sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika dikdaktor tersebut menghilang, dinasti Mamluk sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak dari Sirkasia yang kemudian di kenal dengan nama Mamluk Burji yang untuk pertamakalinya dibawa oleh Qalawun, solidaritas antar sesama militer terutama  setelah Mamluk Burji berkuasa. Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya dikalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun, dan perekonomian negara tidak stabil. Disamping itu, ditemukannya Tanjung Harapan oleh Eropa tahun 1498 M, menyebabkan  perdagangan Asia sampai Eropa melalui Mesir menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya wabah penyakit. Dipihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar sebagai tantangan dari Mamluk, yaitu kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayatMamluk di Mesir. Dinasti Mamluk kalah melawan pasukan Usmani dalam  pertempuran menentukan diluar kota Kairo pada tahun 1517 M. Sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan kerajaan Usmani sebagai salah satu propinsinya.

5.        Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Mamalik

Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang pertama kalinya dibawa oleh Qawalun, yang kemudian dikenal dengan nama Mamaluk Burji berkuasa, solidaritas tentara muiliter mulai menurun. Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya dikalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian Negara tidak stabil. Disamping itu, ditemukannya Tanjung Harapan oleh Eropa pada tahun 1498 M, menyebabkan jalur perdagangan Asia-Eropa melalui Mesir menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya penyakit[16].
Di pihak lain, suatu kekuatan politik baru yang  besar muncul sebagai tantangan bagi Mamalik, yaitu Kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir. Dinasti Mamalik kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran di luar kota Kairo tahun 1517 M. Sejak itu wilayah Mesir berada dibawah kekuasaan Kerajaan Usmani sebagai salah satu Provinsinya.



BAB III

PENUTUP


A.      Simpulan

Perkembangan islam dan budaya hingga saat ini tidak bisa lepas dari peradaban dan corak pemerintahan dan perpolitikan waktu dulu, salah satunya dinasti Fatimyah dan Dinasti Mamamlik, yang mana dalam hal pemerintahan sebuah negara, diakui ataupun tidak turut mewarnai perjalanan bangsa-bangsa di penjuru dunia hingga saat ini. Peran dari dinasti Fatimiyah dan Mamamlik juga bisa kita lihat hari ini misalnya tentang tata pengelolaan sebuah pemerintahan, mau tidak mau, apa yang ada hari ini di belahan dunia turut diwarnai oleh coretan sejarah dinasti Fatimiyah

B.       Saran

Pada dasarnya  proses sejarah telah terukir dan menjadi bagian dari proses budaya dan dinamika dalam lini kehidupan dan mewarnai budaya-budaya yang ada saat ini. Semoga   perjalanan sejarah yag telah tertuang dalam bumi ini dapat diambil hikmah oleh  seluruh umat manusia dan dijadikannya kaca benggala untuk menata masa depan.


DAFTAR PUSTAKA

Rofiq Choirul, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern,
Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009.

Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet ke 4, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2011.

A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. M. Sanusi Latief  (Jakarta:
Radar Jaya Offset, 2003)
.
Karim M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet 1, Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007.

Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam, Cet ke 3, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2007.

Mughniyah Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, terj.
Masykur A.B. dkk,  Fiqih Lima Mazhab, Cet 22, Jakarta: Penerbit Lentera,
2008.

ar-Rahbawi Abdul Qadir, As-Salatu ‘ala Mazahibil Arba’ah, terj. Zeid Husein  al
Hamid dan M. Hasanudin, Salat Empat Mazhab, Cet 10, Jakarta: PT
Pustaka Litera Antar Nusa, 2008.


http://kisahmuslim.com/biografi-imam-malik/ diakses tanggal 11 November 2015 pukul 19.03



Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008



[1] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009, hlm 209.
[2] Isma’iliyah adalah salah satu sekte Syi’ah yang mempercayai bahwa Isma’il merupakan imam ke tujuh setelah Imam Jafar al-Shiddiq.
[3] Menurut Watt, Syi’ah muncul ketika adanya peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Siffin, yang kemudian sampai pada arbitase antara keduanya, setelah itu pengikut Ali terpecah, yang mendukung dinamakan Syi’ah, sementara yang keluar dari Alli dinamakan Khawarij. Lihat Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet ke 4, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, hlm 90.
[4] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. M. Sanusi Latief  (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2003), hlm 168.
[5] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet 1, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, hlm 190.
[6] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam..., hlm 186
[7] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban..., hlm 192
[8] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam..., hlm 215
[9] Misalnya petani tidak diwajibkan membayar pajak, tanah-tanah yang dimiliki pemerintah ditentukan aturan-aturan penggunaan dengan peraturan tersendiri, dengan ketentuan apabila tanah itu diberikan kepada tuan tanah, maka tuan tanah itu diharuskan membayar sejumlah uang tertentu.  Untuk melindungi petani kecil dari tuan tanah, dikeluarkan peraturan bahwa semua tanah semua tanah yang dimiliki penduduk  tetap menjadi pemiliknya, sedang tanah yang dimiliki tuan-tuan tanah, maka ditetapkanlah tuan-tuan tanah itu diberikan kelauasaaan untuk menguasai tanah itu selama 30 tahun dan tiddaka boleh ditambah lagi.
[10] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban..., hlm 199
[11] Buwaihi merupakan dinasti kecil pada masa pemerintahan Abasiyah, yang berkuasa di Irak pada tahhun 945 M.
[12] Menurut al-Hakim, otak manusia produktif atau subur pada malam hari.
[13] Pada masa ini misalnya setelah Badar (khalifah setelah al-Muntashir) meninggal, jabatan wazir digantikan oleh Afdhal, sementara yang dikehendaki/ditunjuk oleh al-Muntashir sebelum meninggal adalah Nizar/anak tertuanya. Hal ini akhirnya menimbulkan kelompok-kelompok oposisi yang menentang kepemimpinan Afdhal dan mengakui kekhalifahan Nizar. Hal ini juga menjadi cikal bakal gerakan Syi’ah ekstrim.
[14] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Cet ke 3, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2007, hlm 143.
[15] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm 235

No comments:

Post a Comment

Adbox