Breaking

Sunday, February 7, 2016

Makalah Imam Malik dan Fatimiyyah



BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah, atau yang dikenal dengan Imam Malik merupakan ulama besar yang nama dan wibawanya terkenal seantero jagad raya, bahkan karyanya hingga hari ini menjadi sumber rujukan dalam pengambilan sebuah hukum sekaligus sebagai pedoman manusia khususnya umat islam dalam peribadatnnya. Imam Malik merupakan manusia biasa seperti pada umumnya, namun banyak ulama yang cukup tersanjung dan kagum dengan Imam Malik baik dari segi fisik maupun karakternya.

Sebuah sosok ulama yang dikenal berpenampilan rapi dan menarik tersebut menjadi salah satu Imam Mazhab dari empat Imam Mazhab terkemuka di dunia. Sperti apa sosok Imam Malik dan karyanya, di bawah ini akan dibahas tentang Imam Malik dan kehidupannya.
Dalam hal fase yang berbeda, ada juga sebuah dinasti yang turut memberi warna dalam corak pembangunan negara dan agama hingga hari ini, namun dinasti tersebut bagi sebagian kalangan kurang familiar, padahal peran-perannya hingga hari ini diakui atau tidak menjadi bagian yang tak terlepaskan dari sejarah dan pembangunan.
Ialah Dinasti Fatimiyah yang menyatakan dirinya sebagai keturunan langsung Hadrat Ali dan Fatimyah dari Isma’il, anak Jafar Shiddiq, keturunan ke enam dari Ali ibn Abi Thalib. Nama dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Az-Zahrah  putri Nabi Muhammad SAW[1]. Dinasti ini tergolong ke dalam pengikut Syi’ah Isma’iliyah.[2]
Pada tahun 860, kelompok Isma’iliyah pindah ke daerah Salamiyah, dan di sinilah mereka membuat kekuatan dengan gerakan propagandis dengan tokohnya yang bernama Sa’id ibn Husayn. Dengan cara rahasia, gerakan ini menyusupkan utusan-utusan ke daerah-daerah muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan doktrin Ismailiyah kepada rakyat. Cara inilah kemudian menjadi landasan pertama kemunculan Dinasti Fatimiyah.
Kebangkitan Dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyyah) ketika Dinasti Abbasiah di baghdad mulai melemah. Dinasti Fatimiyah ini adalah salah satu dinasti Islam yang beraliran Syi’ah[3] Isma’iliyah yang lahir di Afrika utara pada tahun 909 M setelah mengalahkan Dinasti Aghlabiyah di Sijilmasa.
Dalam sejarah, kejayaan Dinasti Fatimiyah datang setelah pusat kekuasaanya dipindahkan dari tunisia (al-Mahadiah) ke Mesir. Kekhalifahan Fatimiyah lahir sebagai manisfestasi dari idealisme orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan dari Fatimah binti Rosulullah. Kekhalifahan ini lahir di antara dua kekuatan politik kekhalifahan, Abbasiah di Baghdad, dan Umayyah II di Cordova.
Dalam coretan sejarhanya, dinasti Fatimyah telah menyumbangkan banyak hal baik positif maupun negatif dan tentunya dinasti ini tidak lepas dari sejarah islam yang turut mewarnai perkembangannya hingga hari ini. Di bawah ini akan dibahas ruanglingkup tentang Imam Malik dan Dinasti Fatimiyah.

 B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, yang menjadi rumusan masalah adalah:
1.      Siapakah Imam Malik itu?
a.       Seperti apa biografi Imam Malik?
b.      Bagaimana Sifat dan karakter Imam Malik?
c.       Seperti apa keistimewaan Imam Malik?
d.      Apa yang menjadi intisari Kitab terkenal Almuwatta Karangan Imam Malik?
2.      Dinasti Fatimiyah
a.       Kapan munculnya dinasti Fatimiyah?
b.      Apa kemajuan Dinasti Fatimiyah?
c.       Kapan kemunduran Dinasti Fatimiyah terjadi dan apa penyebabnya?
d.      Siapa saja yang menjadi Khalifah dari Dinasti Fatimiyah?

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Malikiyah
1.    Biografi Imam Malik
Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H dan Wafat pada tahun 179 H (672 -758 M). Nama lengkap Imam Malik adalah Abu Abdullah Malik Bin Anas al-Asbahi, seorang tokoh kenamaan dan ulama terkemuka di Darul Hijrah (Madinah). Ia dibesarkan di Madinah dan belajar Rabi’ah[4]. Kemudian ia banyak mengunjungi paraa fuqaha dari kalangan tabi’in untuk be;ajar kepada mereka, dan menerima hadis dari az-Zuhri, Nafi’ budak yang dimerdekaakan Ibnu Umar dan perawi hadis lainnya. Berkat keikhlasan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, sehingga ia menjadi pemuka ahli fikih negeri Hijaaz yang namanya terkenal di berbagai negeri. Bukti atas hal itu adalah ucapan Al-Dahlami ketika dia berkata:
“Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadis di Madinah, yang paling mengetahui keputusan-keputusanUmar, yang paling mengerti pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah ra, dan sahabat-sahabat mereka, atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepada suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa”[5].

Diriwayatkan, bahwa dalam mengeluarkan fatwa, Imam Malik mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan fatwa. Dalam hal tanggungjawabnya sebagai seorang ulama, Imam Malik sangat ikhlas dalam mencari ilmu serta mengajarkannya, belau pernah berkata “Ilmu adalah cahaya, ia akan mudah dicapai dengan hati yang taqwa dan khusyu”. Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata: sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan, maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu”[6].
Ketika al-Mansur menunaikan ibadah haji, ia berkunjung kepada Malik agar menulis sebuah buku yang berisikan masalah-masalah illmu, dan Malik pun akhirnya menyusun sebuah kitab al-Muwatta tentang hadis dan fikih. Ketika al-Mahdi datang ke Hijaz untuk berhaji, tak lupa ia pun mengikuti pengajian Imam Malik dan memberikan hadiah sebanyak 5000 dinar. Kemudian ar-Rasyid bersama anaknya mengunjungi dan mendengarkan pengajian Imam Malik, juga ia menganugerahkan berbagai hadiah cukup banyak.
Kitab al-Muwatta cukup mengesankan dan mengagumkan hati ar-Rasyid, hingga ia berusaha menggantungkan kitab tersebut di Ka’bah dan menyuruh semua orang untuk berpegang kepadanya. Namun Imam Malik menolak lalu berkata:
“Sesungguhnya para sahabat Rasul mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam masalah furu’ dan mereka kini telah menyebar di berbagai negeri, dan semuanya adalah benar”, Rasyid mennjawab: “Semoga Allah memberikan taufik kepada engkau Abdullah”[7]

Kitab yang sangat fenomenal tersebut telah banyak diriwayatkan oleh para ulama seperti halnya juga oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Muhammad bin al –hasan, salah seorang murid Abu Hanifah meriwayatkannya secara langsung dari Malik. Diantara murid-murid Imam Malik yang meriwayatkan al Muwatta dan yang berjasa besar membukukan kitab tersebut adalah Abdullah bin Wahb dan Abdurrahman bin al-Qasim. Kemudian pemikiran fikih Imam Malik menyebar di negeri Mesir, Afrika, Spanyol dan di negeri Basrah/Baghdad.

Mazhab Malikiyah ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi (93 – 179H). Berkembang sejak awal di kota Madinah dalam urusan fiqh. Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran, As-Sunnah (dengan lima rincian dari masing-masing Al-Quran dan As Sunnah; tekstualitas, pemahaman zhahir, lafaz umum, mafhum mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah), Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah (perbuatan penduduk Madinah), perkataan sahabat, istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana (syariat nabi terdahulu).
Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhab Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.[8]
2.    Sifat dan Karakteristik Imam Malik
Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia fisik yang istimewa; berwajah tampan dengan perawakan tinggi besar. Mush’ab bin Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki yang berparas rupawan, matanya bagus (salah seorang muridnya mengisahkan bahwa bola mata beliau berwarna biru), kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan, “Aku tidak pernah melihat ahli hadits  setampan Malik.”
Selain Allah karuniai fisik yang rupawan, Imam Malik juga memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang-orang yang menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawa imam besar ini. Tak ada seorang pun yang berani berbicara saat ia menyampaikan ilmu, bahkan ketika ada seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada majlis, jamaah hanya menjawab salam tersebut dengan suara lirih saja. Hal ini bukan karena Imam Malik seorang yang kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi murid-muridnya. Imam Syafii yang merupakan salah seorang murid Imam Malik menuturkan, “Ketika melihat Malik bin Anas, aku tidak pernah melihat seoarang lebih berwibawa dibanding dirinya.” Demikian juga penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah melihat orang yang begitu berwibawa melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa para penguasa.” Imam Malik juga dikenal dengan semangatnya dalam mempelajari ilmu, kekuatan hafalan, dan dalam pemahamannya. Pernah beliau mendengar 30 hadits dari Ibnu Hisyam az-Zuhri, lalu ia ulangi hadits tersebut di hadapan gurunya, hanya satu hadits yang terlewat sedangkan 29 lainnya berhasil ia ulangi dengan sempurna. Imam Syafii mengatakan,
إذا جاء الحديث، فمالك النجم الثاقب
“Apabila disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang bintang yang cerdas (menghafalnya).
Imam Malik sangat tidak suka dengan orang-orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada suatu permasalahan ditanyakan kepadanya, lalu ada yang mengatakan, ‘Itu permasalahan yang ringan.” Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut, lalu mengatakan, “Tidak ada dalam pembahasan ilmu itu sesuatu yang ringan, Allah berfirman,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)
Semua permasalahan agama itu adalah permasalahan yang berat, khususnya permasalahan yang akan ditanyakan di hari kiamat.”
Imam Malik juga seorang yang sangat perhatian dengan penampilannya dan ini adalah karakter yang ditanamkan ibunya sejak ia kecil. Pakaian yang ia kenakan selalu rapi, bersih, dan harum dengan parfumnya. Isa bin Amr mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang yang berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan dari Malik. Dan juga ia seseorang yang lebih putih dari pakaiannya.”
Imam Malik juga mempunyai firasat yang tajam, Imam Syafii mengisahkan tentang gurunya ini, sebuah kisah yang menunjukkan kuatnya firasat sang guru. Kata Imam Syafi’i, “Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Malik, kemudian ia mendengarkan ucapanku. Ia memandangiku beberapa saat dan ia berfirasat tentangku. Setelah itu ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ Kujawab, ‘Namaku Muhammad”, Ia kembali berkata, ‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah, jauhilah perbuatan maksiat, karena aku melihat engkau akan mendapatkan suatu keadaan (menjadi orang besar)”[9].
3.    Keistimewaan Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”. (Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi'i berkata, "Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi'in".
Yahya bin Ma'in berkata, "Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits"
Ayyub bin Suwaid berkata, "Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya".
Ahmad bin Hanbal berkata, " Jika engkau melihat seseorang yang membenci Imam Malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah"
Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i, " apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti Imam Malik?" as-Syafi'i menjawab :"aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?
Imam Abu Hanifah berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandai tentang sunnah Rasulullah dari Imam Malik."
Abdurrahman bin Mahdi, " Aku tidak pernah tahu seorang ulama Hijaz kecuali mereka menghormati Imam Malik, sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat Muhammad, kecuali dalam petunjuk."
Ibnu Atsir, "Cukuplah kemuliaan bagi asy-Syafi'i bahwa syaikhnya adalah Imam Malik, dan cukuplah kemuliaan bagi Malik bahwa di antara muridnya adalah asy-Syafi'i."
Abdullah bin Mubarak berkata, "Tidak pernah aku melihat seorang penulis ilmu Rasulullah lebih berwibawa dari Malik, dan lebih besar penghormatannya terhadap hadits Rasulullah dari Malik, serta kikir terhadap agamanya dari Malik, jika dikatakan kepadaku pilihlah Imam bagi umat ini, maka aku akan pilih Malik."
Laits bin Saad berkata, "Tidak ada orang yang lebih aku cintai di muka bumi ini dari Malik."[10]
4.    Intisari Kitab Almuwatta Karangan Imam Malik
Al-Muwattha’ berisi uraian konprehensif mengenai praktek normal dan baku yang dianut di Madinah. Salah satu kelebihan dari kita al-Muwattha’ sebagaimana yang dikemukakan oleh Syeikh Waliyullah al-Dahlawi (1114-1176 H.) bahwa ia tidak hanya mencakup hadits-hadits doktrinal seperti yang ada pada al-Kutub al-Sittah, akan tetapi juga mengandung praktek-praktek aktual dan historis serta petunjuk-petunjuk dari Nabi Saw. dan para sahabat. Bahkan al-Dahlawi menyatakan bahwa hadits-hadits yang dimuat di al-Muwattha’ sanadnya lebih unggul dari al-Kutub al-Sittah. Dengan demikian dia lebih menyukai al-Muwattha, karena di dalamnya memuat banyak referensi dari kesepakatan ashab al-salaf dan dalam beberapa hal juga memuat qaul tabi’in yang menyangkut masalah-masalah yang tidak ada keterangannya dari Nabi Saw. dan para sahabat. Akan tetapi, Imam Malik juga memasukkan di dalamnya hadits mursal dan mauquf dengan catatan sanadnya bersambung. Demikian juga dengan hadits balaghat (hadits yang diriwayatkan dengan kata-kata balaghani), yang menurut al-Bukhari merupakan hadis yang cela (‘illat), akan tetapi dibantah oleh Imam Malik. Selain dari yang tersebut, al-Muwattha’ juga memuat fatwa-fatwa Imam Malik sendiri tentang masalah-masalah fiqh. Karena itu lah ada ulama yang berpendapat bahwa al-Muwattha’ pada hakekatnya kitab fiqh, atau kitab hadits yang berjiwa fiqh[11].
Kitab al-Muwatta’ ini, mengandung hadits-hadits Nabi, pendapat sahabat, qaul tabi’in, ijma’ ahl Madinah dan pendapat Imam Malik. Akan tetapi terjadi persesihan pendapat dari kalangan para ulama tentang jumlah hadits yang terdapat dalam kitab al-Muwattha’, antara lain;

a. Ibnu Habbab yang dikutip oleh Abu Bakar al-A’rabi dalam syarah al-Tirmidzi menyatakan ada 500 hadits yang disaring dari 100.000 hadits.
b.Abu Bakar al-Abhari berpendapat ada 1726 hadits dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf  dan 285 qaul tabi’in.
c.Al-Harasi dalam “a’liqah fi al-Usul” mengatakan kitab Imam Malik memuat 700 hadits dari 9000 hadits yang telah disaring
d.Abu al-Hasan bin Fahr dalam “Fada’il” mengatakan ada 10.000 hadits dalam kitab al-Muwattha”
Faktor utama yang melatar belakangi dari timbulnya perbedaan tersebut, terjadi karena perbedaan sumber periwayatan di satu sisi dan perbedaan cara penghitungan, karena ulama menghitung hadits –hadits tersebut hanya berdasarkan pada hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saja, bahkan ada pula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa sahabat, fatwa tabi’in yang termaktub dalam kitab al-Muwattha’ tersebut.
 Menurut Muhammad Abu Zahra, al-Muwattha’ secara terperinci sebagai berikut:
a.         Hadits-hadits tematik tentang Fiqh hasil ijtihad pribadi Imam Malik;
b.        Amalan produk madinah yang telah menjadi konsensus (ijma’);
c.         Pendapat-pendapat tabi’in yang dijumpainya;
d.        Pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in yang tidak dijumpainya;
e.         Ijtihad Imam Malik bersandar pada hadits Nabi, fatwa dan keputusan para sahabat;
f.         Pendapat-pendapat yang termasyhur di Madinah;
g.        Pendapat-pendapat dan fatwa tabi’in.
5.    Wafatnya Imam Malik
Menjelang waFat, Imam Malik ditanya masalah kemana ia tak pergi lagi ke Masjid Nabawi selama tujuh tahun, ia menjawab, "Seandainya bukan karena akhir dari kehidupan saya di dunia, dan awal kehidupan di akhirat, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepada kalian. Yang menghalangiku untuk melakukan semua itu adalah penyakit sering buang air kecil, karena sebab ini aku tak sanggup untuk mendatangi Masjid Rasulullah. Dan, aku tak suka menyebutkan penyakitku, karena khawatir aku akan selalu mengadu kepada Allah." Imam Malik mulai jatuh sakit pada hari Minggu sampai 22 hari lalu wafat pada hari Minggu, tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 Hijriyyah atau 800 Miladiyyah.
Masyarakat Madinah menjalankan wasiat yang ia sampaikan, yakni dikafani dengan kain putih, dan disalati diatas keranda. Imam shalat jenazahnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Hasyimi yang merupakan gubernur Madinah. Gubernur Madinah datang melayat dengan jalan kaki, bahkan termasuk salah satu yang ikut serta dalam mengangkat jenazah hingga ke makamnya. Dia dimakamkan di Pemakaman Baqi', seluruh murid-murid dia turut mengebumikan dia.
Informasi tentang kematitan dia tersebar di seantero negeri Islam, mereka sungguh sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan, seraya mendoakan dia agar selalu dilimpahi rahmat dan pahala yang belipat ganda berkat ilmu dan amal yang dia persembahkan untuk Islam.

B.            Lahirnya Dinasti Fatimiyyah
Kekhalifahan Dinasti Fatimiyah lahir sebagai manifestasi dari idealisme orang-orang syi’ah, yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan dari Fatimah Binti Rosulullah SAW. Sebenarnya sekte syi’ah sudah lama mendambakan dan mencita-citakan berdirinya kekhalifahan yaitu sejak memudarnya kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, namun mereka selalu mendapatkan tekanan politik dari dinasti Umayyah dan Abbasiyah sehingga salah satu cara yang dilakukannya adalah taqiyah, yaitu taat kepada penguasa secara lahiriyah akan tetapi menyusun kekuatan secara diam-diam.[12]
Sukses gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M., dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-Imam Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah sebagai pusat ibu kota. Ibrahim Ahmad Adawi dalam bukuhya Tarikh al-‘Alam al-Islami   yang dikutip oleh Abdul Gaffar menjelaskan Raqadah terletak 10 mil dari wilayah qairawan Tunisia (Afrika Utara). Namun karena Raqadah terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu qairawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, sekitar 16 mil arah tenggara Raqadah pada tahun 915. Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah berdiri di Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa.[13]
Bosworth dalam bukunya Dinasti-dinasti Islam menjelaskan khalifah pertama Fathimiyah, Ubaydillah, datang dari Suriah ke Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum Berber Ketama, dia menumbangkan gubernur-gubernur Aghlabiyyah di Iffriqiyah dan Rustamiyah.[14]
Menurut M. Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam menjelaskan bahwa dinasti Aghlabiah berdiri pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid ketika dia mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah (Tunisia) pada tahun 800 M secara independen dengan gelar amir. untuk membendung kekuatan luar yang ingin melemahkan dinasti Abbasiyah, terutama dinasti Rustamiah (khawarij) dan Idrisiah. Kemudian pada tahun 909 M. Dinasti Aghlabiah yang dipimpin oleh Ziadatullah al-Aghlabiah III dilenyapkan oleh dinasti Fatimiah.
Tentang asal-usul Sa’id, para sejarawan berbeda pendapat, Ibnu al Atsir, Ibnu Khaldun, Makrizi dan banyak lainnya menyatakan bahwa ia adalah keturunan dari Fatimah, sedangkan Ibnu Khalikan, Ibnu Ijari, Suyuti, dan Ibnu Taghribirdi menolaknya sebagai keturunan Fatimah. Menurut Saunders, tidak seorangpun yang dapat melacak asal-usulnya secara memuaskan. Hal itu dikarenakan oleh model gerakan Syi’ah yang di bawah tanah atau secara dia-diam, sehingga susah dilacak.
Sepeninggal Ubaidillah Al Mahdi (909-934 M), kemudian Al-Qaim naik tahta pada (934-946 M), setelah itu digantikan oleh al-Mansyur pada taahun 946-952 M. Kemudian pada masa khalifah ke IV, yakni Muiz li Dinillah pada tahun 952-975 M, Kekhalifahan Fatimiyah memasuki era baru.[15] Pada masa Mu’iz ini, Kekhalifahan Fatimah menaklukan Mesir karena Mesir terkenal daerah yang makmur dan penduduknya dapat menerima berbagai aliran mazhab dengan alasan melindungi kaum Syi’ah yang ada di sana.
Pada masa Mu’iz inilah puncak kejayaan Kekhalifahan Fatimiyah terukir dan Kairo resmi dijadikan sebagai pusat pemerintahan.
1.        Kemajuan dinasti Fatimiyah
Kemajuan-kemajuan yang dialami dinasti Fatimyah antara lain:
b.      Bidang pemerintahan.
Membangun tata keloa pemerintahan yang ideal dan baik dan tergolong baru. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana dinasti Fatimiyah menyusun struktur pengurus pemerintahan berdasarkan kebutuhan, misalnya adanya tata politik, keuangan, tata administrasi, tata kemiliteran, tata kepolisian, tata peradilan, departemen kemakmuran, dan urusan perhubunngan. Pemerintahan ini juga membentuk menteri-menteri untuk memimpin suatu daerah dan bertanggungjawab kepada khalifah.
c.       Filsafat
Dinasti Fatimiyah dalam menyebarkan paham Syi’ah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles, dan ahli filsafat lainnya. Kelompok filsafat yang paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah adalah Ikhwan al-Shafa.[16]
d.      Keilmuan dan Kesustraan
Pada masa dinasti Fatimiyah terdapat seorang ilmuwan yang sangat terkenal yaitu Ya’qub Idn Killis, yang berhasil membangun akademi-akademi keilmuan dan menghasilkan ahli fisika, ahli sejarah dan ahli sastra. Kemajuan yang paling fundamental adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Dar al-Hikam, banguna  ini dibangun khusus untuk propaganda doktrin Syi’ah, pada masa ini pula terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku yang menjadi bukti majunya keilmuan pada masa dinasti Fatimiyah.
e.       Bidang ekonomi sosial
Berkat aturan-aturan yang dibuat sedemikian untuk kemakmuran, akhirnya dinasti Fatimiyah pada zaman Mu’iz ini tercipta kehidupan yang sangat makmur. Hal ini ditandai dengan missalnya terjadinya komoditas ekspor-inpor antara Eropa dan Asia, harga barang-barang murah dan keadaan rakyat sangat bahagia. Pada sisi lain juga ditandai dengan toko perhiasan dan money charger yang dibiarkan tidak terkunci. Kemakmuran juga ditandai dengan dibangunnya gedung enam tingkat sebagai kantor khalifah.[17]
f.       Daerah kekuasaan yang cukup luas dan pengelolaan yang rapi
Ini dilihat dari daerah kekuasaannya dari al Maghrib sampai Mesir, kemudian sampai ke Syam, Palestina, Hijaz serta Yaman.
Dari luansya daerah tersebut, Dinasti Fatimiyah membagi wilayah kekuasaan menjadi empat bagian, yaitu wilayah Qus yang meliputi Mesir. Wilayah timur meliputi daerah Bilbis, Qoliub dan Asyumm, wilayah barat meliputi Manup dan Abyar, wilayah Iskandariah yaitu meliputi pesisir laut tengah.
g.      Tata pengelolaan tanah/pertanian yang baik
Pemerintahan ini membangun infrastruktur untuk kelancaran hasil pertanian, selain itu juga membentuk atauran-aturan pertanahan yang toleran terhadap petani[18] serta membuat aturan penggunaan air.[19]
h.      Kairo menjadi pusat perindustrian tenun.
Pada masa ini, perindustrian tenun sangat terkenal dan diekspor ke Persia. Pada masa ini juga dibuat aturan-aturan untuk melindungi para pelaku industri dari hidup bermewah-mewah yang pada saat itu merata.
i.        Dibangunnya sebuah Universitas ternama
Pada masa Khalifah al-Aziz (976-996 M), Masjid Al-Azhar mengalami perubahan mendasar, yakni berkembang menjadi Universitas yang sangat terkenal hingga saat ini. Masjid al-Azhar juga dijadikan pusat kebudayaan dan hingga akhirnya juga mendirikan akademi kebudayaan.
2.        Kemunduran dan Kehancuran
Dinasti Fatimiyah  di Mesir mulai mengalami kemunduran ketika Bani Saljuk bersama pasukannya datang ke Baghdad dan mengusir keluarga Buwaihi[20] bahkan akhirnya menangkap tokohnya yang bernama al-Bassasiri. Dinasti ini tidak dapat memberikan pertolongan , hingga akhirnya kemundurannya itu membawa dinasti ke gerbang kehancurannya.
Faktor yang mempengaruhi kemunduran antara lain:
a.       Paham atau doktrin Isma’iliyah yang menekankan terhadap keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan, paham ini belum dapat diterima sepenuhnya oleh sebagian besar masyarakat yang berpaham Sunni.  Apalagi sejak kebangkitan Sunni pada abad ke 11-12 Masehi, paham Syi’ah ini banyak ditinggalkan oleh Masyarakat Islam.
b.      Kesulitan melakukan pengawasan terhaap daerah-daerah yang telah dikuasainya, seperti daerah besar Mesir, Syiria, dan Palestina. Hal ini menyebabkan pemberontakan seperti yang dilakukan keluarga Tayyi dan Pasukan Jarahid yang terus bergolak di Palestina dan kelompok Qaramithah di Syiria.
c.       Perekrutan tentara dari budak sehingga menimbulkan konflik karena adanya friksi (perbedaan pendapat/pergeseran) dalam tubuh militer ketika dari mereka masing-masing merasa kuat. Selain itu juga ada budak yang menjadi tentara berkulit hitam dari negeri Sudan yang tidak mau kalah dengan pendahulunya.
d.      Peraturan dan sikap yang aneh pada masa Khalifah al-Hakim
Misalnya pada masa ini ada dekrit yang mengharuskan aktivitas negeri boleh ada pada malam hari (dibuka pada maghrib hingga subuh)[21], dan pada siang hari dipakai untuk istirahat.
Pada sisi lain, sikap aneh penyebab kemunduran dinasti Fatimiyah pada masa ini adalah adanya pembakaran dan penghancuran gereja, serta larangan bagi warga muslim berpakaian Yahudi dan Kristen. Sikap inilah yang menjadikan masyarakatnya antipati dan kewibawaan Khalifah menjadi menurun.
e.       Adanya perselisihan antara jendral dan wazir yang membawa kekacauan cukup parah, adanya wabah penyakit, kelaparan dan gagal panen pada masa khalifah al-Muntashir (1036 M-1094 M)
f.       Penggantian Wazir/perdana menteri Afdhal yang tidak berdasarkan keputusan awal pada saat al-Muntashir berkuasa hinggga menimbulkan pertikaian-pertikaian berkelanjutan[22]
g.      Adanya konspirasi, perselisihan dan dendam berkelanjutan antara generasi wazir.
Kejadian yang menonjol yakni pada saat Sawal menjadi Wazir, dia melakukan konspirasi dengan Meric setelah menghianati Janggi. Tindakan inilah membawa kehancuran bagi Dinasti Fatimiyah dan akhhirnya tentara Salib menguasai Mesir. Kemudian pada tahun 1169 Syirkuh dapat merebut Mesir, setelah Syirkuh meninggal, kemudian digantikan oleh Ayyubi yang berideologi Sunni. Pada tahun 1171 M, Ayyubi menghapuskan kekhalifahan Fatimiyah atas desakan Baghdad dan menggantikannya dengan Dinasti Ayyubiyah, maka berakhirlah riwayat Fatimiyah.

Dalam perjalanannya, selama berkuasa selama 200 tahun, Dinasti Fatimyah dipimpin oleh 14 Khalifah, tetapi yang terlihat menonjol berperan adalah hanya 8 Khalifah[23]:
1.             Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi (909-934), pendiri Dinasti Fatimiyah.
2.             Abu al-Qasim Muhammad al-Qa’im bi Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
3.             Isma’il al-Mansur bi-llah (946-952).
4.             Abu Tamim Ma’add al-Mu’iz li-Din Allah (952 M – 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
5.             Abu Mansur Nizar al-‘Aziz bi-llah (975 M – 996 M).
6.             Abu ‘Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M – 1021 M).
7.             Abu’l-Hasan ‘Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah (1021 M – 1036 M).
8.             Abu Tamim Ma’add al-Mustanhir bi-llah (1036 M – 1094 M).
9.             Al-Musta’li bi-Allah (1094 M-1101 M).
10.         Al-Amir bi Ahkam Allah (1101 M – 1130 M)
11.         Abd al-Majid (1130 M – 1149 M).
12.         Al-Wafir (1149 M – 1154 M).
13.         Al-Fa’iz (1154 M – 1160 M).
14.         Al-‘Adid (1160 M – 1171 M).


BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Perkembangan islam dan budaya hingga saat ini tidak bisa lepas dari peradaban dan corak pemikiran ulama-ulama terdahulu, salah satunya Imam Malik dan dinasti Fatimyah, yang mana dalam hal keagamaan Mazhab Malikiyah dan 3 Imam Mazhab lainnya menjadi pondasi atau landasan ulama-ulama kontemporer dalam mengambil hukum. Peran dari dinasti Fatimiyah juga bisa kita lihat hari ini misalnya tentang tata pengelolaan sebuah pemerintahan, mau tidak mau, apa yang ada hari ini di belahan dunia manapun turut diwarnai oleh coretan sejarah dinasti Fatimiyah

B.       Saran
Dalam hal pembahasan makalah tersebut, masih banyak kekurangan baik dari muatan materi maupun literatur-literatur yang menjadi pendukung. Pada sisi lain juga pembahasan antara Imam Malik dan Dinasti Fatimiyah adalah dua hal yang berbeda zaman, tentunya di sini mengakibatkan terputusnya atau kurang relevan jika dua hal (Fatimiyah dan Malikiyah) disandingkan dalam satu pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA

Rofiq Choirul, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern,
Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009.

Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet ke 4, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2011.

A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. M. Sanusi Latief  (Jakarta:
Radar Jaya Offset, 2003)
.
Karim M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet 1, Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007.

Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam, Cet ke 3, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2007.

Mughniyah Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, terj.
Masykur A.B. dkk,  Fiqih Lima Mazhab, Cet 22, Jakarta: Penerbit Lentera,
2008.
ar-Rahbawi Abdul Qadir, As-Salatu ‘ala Mazahibil Arba’ah, terj. Zeid Husein  al
Hamid dan M. Hasanudin, Salat Empat Mazhab, Cet 10, Jakarta: PT
Pustaka Litera Antar Nusa, 2008.


http://kisahmuslim.com/biografi-imam-malik/ diakses tanggal 11 November 2015 pukul 19.03




[1] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009, hlm 209.
[2] Isma’iliyah adalah salah satu sekte Syi’ah yang mempercayai bahwa Isma’il merupakan imam ke tujuh setelah Imam Jafar al-Shiddiq.
[3] Menurut Watt, Syi’ah muncul ketika adanya peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Siffin, yang kemudian sampai pada arbitase antara keduanya, setelah itu pengikut Ali terpecah, yang mendukung dinamakan Syi’ah, sementara yang keluar dari Alli dinamakan Khawarij. Lihat Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet ke 4, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, hlm 90.
[4] Rabi’ah merupakan ulama yang sangat terkenal waktu itu.
[5] Muhammad Jawad Mughniyah,al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, terj. Masykur A.B. dkk,  Fiqih Lima Mazhab, Cet 22, Jakarta: Penerbit Lentera, 2008, hlm xxvii.
[6] Ibid..., hlm xxviii
[7]Abdul Qadir ar-Rahbawi, As-Salatu ‘ala Mazahibil Arba’ah, terj. Zeid Husein  al Hamid dan M. Hasanudin, Salat Empat Mazhab, Cet 10, Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2008, hlm 5.
[9] http://kisahmuslim.com/biografi-imam-malik/ diakses tanggal 11 November 2015 pukul 19.03

[10] wilkipedia
[12] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. M. Sanusi Latief  (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2003), hlm 168.
[13] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet 1, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, hlm 190.
[14] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam..., hlm 186
[15] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban..., hlm 192
[16] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam..., hlm 215
[17] Ibid..., hlm 200
[18] Misalnya petani tidak diwajibkan membayar pajak, tanah-tanah yang dimiliki pemerintah ditentukan aturan-aturan penggunaan dengan peraturan tersendiri, dengan ketentuan apabila tanah itu diberikan kepada tuan tanah, maka tuan tanah itu diharuskan membayar sejumlah uang tertentu.  Untuk melindungi petani kecil dari tuan tanah, dikeluarkan peraturan bahwa semua tanah semua tanah yang dimiliki penduduk  tetap menjadi pemiliknya, sedang tanah yang dimiliki tuan-tuan tanah, maka ditetapkanlah tuan-tuan tanah itu diberikan kelauasaaan untuk menguasai tanah itu selama 30 tahun dan tiddaka boleh ditambah lagi.
[19] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban..., hlm 199
[20] Buwaihi merupakan dinasti kecil pada masa pemerintahan Abasiyah, yang berkuasa di Irak pada tahhun 945 M.
[21] Menurut al-Hakim, otak manusia produktif atau subur pada malam hari.
[22] Pada masa ini misalnya setelah Badar (khalifah setelah al-Muntashir) meninggal, jabatan wazir digantikan oleh Afdhal, sementara yang dikehendaki/ditunjuk oleh al-Muntashir sebelum meninggal adalah Nizar/anak tertuanya. Hal ini akhirnya menimbulkan kelompok-kelompok oposisi yang menentang kepemimpinan Afdhal dan mengakui kekhalifahan Nizar. Hal ini juga menjadi cikal bakal gerakan Syi’ah ekstrim.
[23] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Cet ke 3, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2007, hlm 143.

No comments:

Post a Comment

Adbox