BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris
bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah, atau yang
dikenal dengan Imam Malik merupakan ulama besar yang nama dan wibawanya
terkenal seantero jagad raya, bahkan karyanya hingga hari ini menjadi sumber
rujukan dalam pengambilan sebuah hukum sekaligus sebagai pedoman manusia
khususnya umat islam dalam peribadatnnya. Imam Malik merupakan manusia biasa
seperti pada umumnya, namun banyak ulama yang cukup tersanjung dan kagum dengan
Imam Malik baik dari segi fisik maupun karakternya.
Sebuah sosok ulama yang dikenal
berpenampilan rapi dan menarik tersebut menjadi salah satu Imam Mazhab dari
empat Imam Mazhab terkemuka di dunia. Sperti apa sosok Imam Malik dan karyanya,
di bawah ini akan dibahas tentang Imam Malik dan kehidupannya.
Dalam hal fase yang berbeda, ada juga sebuah dinasti
yang turut memberi warna dalam corak pembangunan negara dan agama hingga hari
ini, namun dinasti tersebut bagi sebagian kalangan kurang familiar, padahal
peran-perannya hingga hari ini diakui atau tidak menjadi bagian yang tak
terlepaskan dari sejarah dan pembangunan.
Ialah Dinasti Fatimiyah yang menyatakan dirinya
sebagai keturunan langsung Hadrat Ali dan Fatimyah dari Isma’il, anak Jafar
Shiddiq, keturunan ke enam dari Ali ibn Abi Thalib. Nama dinasti ini
dinisbatkan kepada Fatimah Az-Zahrah putri Nabi Muhammad SAW[1].
Dinasti ini tergolong ke dalam pengikut Syi’ah Isma’iliyah.[2]
Pada tahun 860, kelompok Isma’iliyah pindah ke daerah
Salamiyah, dan di sinilah mereka membuat kekuatan dengan gerakan propagandis
dengan tokohnya yang bernama Sa’id ibn Husayn. Dengan cara rahasia, gerakan ini
menyusupkan utusan-utusan ke daerah-daerah muslim, terutama Afrika dan Mesir
untuk menyebarkan doktrin Ismailiyah kepada rakyat. Cara inilah kemudian
menjadi landasan pertama kemunculan Dinasti Fatimiyah.
Kebangkitan Dinasti ini berasal dari suatu tempat yang
kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyyah) ketika Dinasti Abbasiah di
baghdad mulai melemah. Dinasti Fatimiyah ini adalah salah satu dinasti Islam
yang beraliran Syi’ah[3]
Isma’iliyah yang lahir di Afrika utara pada tahun 909 M setelah mengalahkan
Dinasti Aghlabiyah di Sijilmasa.
Dalam sejarah, kejayaan Dinasti Fatimiyah datang
setelah pusat kekuasaanya dipindahkan dari tunisia (al-Mahadiah) ke Mesir.
Kekhalifahan Fatimiyah lahir sebagai manisfestasi dari idealisme orang-orang
Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah
keturunan dari Fatimah binti Rosulullah. Kekhalifahan ini lahir di antara dua
kekuatan politik kekhalifahan, Abbasiah di Baghdad, dan Umayyah II di Cordova.
Dalam coretan sejarhanya, dinasti Fatimyah telah
menyumbangkan banyak hal baik positif maupun negatif dan tentunya dinasti ini
tidak lepas dari sejarah islam yang turut mewarnai perkembangannya hingga hari
ini. Di bawah ini akan dibahas ruanglingkup tentang Imam Malik dan Dinasti
Fatimiyah.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, yang
menjadi rumusan masalah adalah:
1. Siapakah
Imam Malik itu?
a. Seperti
apa biografi Imam Malik?
b. Bagaimana
Sifat dan karakter Imam Malik?
c. Seperti
apa keistimewaan Imam Malik?
d. Apa
yang menjadi intisari Kitab terkenal Almuwatta Karangan Imam Malik?
2. Dinasti
Fatimiyah
a. Kapan
munculnya dinasti Fatimiyah?
b. Apa
kemajuan Dinasti Fatimiyah?
c. Kapan
kemunduran Dinasti Fatimiyah terjadi dan apa penyebabnya?
d. Siapa
saja yang menjadi Khalifah dari Dinasti Fatimiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Malikiyah
1. Biografi Imam Malik
Imam Malik dilahirkan pada tahun 93
H dan Wafat pada tahun 179 H (672 -758 M). Nama lengkap Imam Malik adalah Abu
Abdullah Malik Bin Anas al-Asbahi, seorang tokoh kenamaan dan ulama terkemuka
di Darul Hijrah (Madinah). Ia dibesarkan di Madinah dan belajar Rabi’ah[4].
Kemudian ia banyak mengunjungi paraa fuqaha dari kalangan tabi’in untuk be;ajar
kepada mereka, dan menerima hadis dari az-Zuhri, Nafi’ budak yang dimerdekaakan
Ibnu Umar dan perawi hadis lainnya. Berkat keikhlasan dan ketekunannya dalam
menuntut ilmu, sehingga ia menjadi pemuka ahli fikih negeri Hijaaz yang namanya
terkenal di berbagai negeri. Bukti atas hal itu adalah ucapan Al-Dahlami ketika
dia berkata:
“Malik adalah orang yang paling ahli
dalam bidang hadis di Madinah, yang paling mengetahui keputusan-keputusanUmar,
yang paling mengerti pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah ra, dan
sahabat-sahabat mereka, atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan
kepada suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa”[5].
Diriwayatkan, bahwa dalam
mengeluarkan fatwa, Imam Malik mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak
bermusyawarah untuk mengeluarkan fatwa. Dalam hal tanggungjawabnya sebagai
seorang ulama, Imam Malik sangat ikhlas dalam mencari ilmu serta
mengajarkannya, belau pernah berkata “Ilmu adalah cahaya, ia akan mudah dicapai
dengan hati yang taqwa dan khusyu”. Beliau juga menasehatkan untuk menghindari
keraguan, ketika beliau berkata: sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas jika
engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan, maka
kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu”[6].
Ketika al-Mansur menunaikan ibadah
haji, ia berkunjung kepada Malik agar menulis sebuah buku yang berisikan
masalah-masalah illmu, dan Malik pun akhirnya menyusun sebuah kitab al-Muwatta tentang hadis dan fikih.
Ketika al-Mahdi datang ke Hijaz untuk berhaji, tak lupa ia pun mengikuti
pengajian Imam Malik dan memberikan hadiah sebanyak 5000 dinar. Kemudian
ar-Rasyid bersama anaknya mengunjungi dan mendengarkan pengajian Imam Malik,
juga ia menganugerahkan berbagai hadiah cukup banyak.
Kitab al-Muwatta cukup mengesankan
dan mengagumkan hati ar-Rasyid, hingga ia berusaha menggantungkan kitab
tersebut di Ka’bah dan menyuruh semua orang untuk berpegang kepadanya. Namun
Imam Malik menolak lalu berkata:
“Sesungguhnya para sahabat Rasul
mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam masalah furu’ dan mereka kini telah
menyebar di berbagai negeri, dan semuanya adalah benar”, Rasyid mennjawab:
“Semoga Allah memberikan taufik kepada engkau Abdullah”[7]
Kitab yang sangat fenomenal tersebut
telah banyak diriwayatkan oleh para ulama seperti halnya juga oleh Muhammad bin
Idris asy-Syafi’i dan Muhammad bin al –hasan, salah seorang murid Abu Hanifah
meriwayatkannya secara langsung dari Malik. Diantara murid-murid Imam Malik
yang meriwayatkan al Muwatta dan yang berjasa besar membukukan kitab tersebut
adalah Abdullah bin Wahb dan Abdurrahman bin al-Qasim. Kemudian pemikiran fikih
Imam Malik menyebar di negeri Mesir, Afrika, Spanyol dan di negeri
Basrah/Baghdad.
Mazhab Malikiyah ini didirikan oleh Imam Malik bin
Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi (93 – 179H). Berkembang sejak awal di kota Madinah
dalam urusan fiqh. Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam
segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah.
Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran, As-Sunnah (dengan
lima rincian dari masing-masing Al-Quran dan As Sunnah; tekstualitas, pemahaman
zhahir, lafaz umum, mafhum mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah),
Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah (perbuatan penduduk Madinah), perkataan
sahabat, istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah,
syar’u man qablana (syariat nabi terdahulu).
Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhab Al-Hanafiyah.
Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang
tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’
sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW
sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik
sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah
sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus
merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.[8]
2. Sifat dan Karakteristik Imam Malik
Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia fisik yang istimewa;
berwajah tampan dengan perawakan tinggi besar. Mush’ab bin Zubair mengatakan,
“Malik termasuk seorang laki-laki yang berparas rupawan, matanya bagus (salah
seorang muridnya mengisahkan bahwa bola mata beliau berwarna biru), kulitnya
putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan, “Aku tidak pernah melihat
ahli hadits setampan Malik.”
Selain Allah karuniai fisik yang rupawan, Imam Malik juga
memiliki kepribadian yang kokoh dan berwibawa. Orang-orang yang menghadiri
majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawa imam besar ini. Tak ada seorang
pun yang berani berbicara saat ia menyampaikan ilmu, bahkan ketika ada seorang
yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada majlis, jamaah hanya menjawab
salam tersebut dengan suara lirih saja. Hal ini bukan karena Imam Malik seorang
yang kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi murid-muridnya. Imam
Syafii yang merupakan salah seorang murid Imam Malik menuturkan, “Ketika melihat
Malik bin Anas, aku tidak pernah melihat seoarang lebih berwibawa dibanding
dirinya.” Demikian juga penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah
melihat orang yang begitu berwibawa melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya
mengalahkan wibawa para penguasa.” Imam Malik juga dikenal dengan semangatnya
dalam mempelajari ilmu, kekuatan hafalan, dan dalam pemahamannya. Pernah beliau
mendengar 30 hadits dari Ibnu Hisyam az-Zuhri, lalu ia ulangi hadits tersebut
di hadapan gurunya, hanya satu hadits yang terlewat sedangkan 29 lainnya
berhasil ia ulangi dengan sempurna. Imam Syafii mengatakan,
إذا جاء الحديث، فمالك النجم الثاقب
“Apabila
disebutkan sebuah hadits, Malik adalah seorang bintang yang cerdas
(menghafalnya).
Imam
Malik sangat tidak suka dengan orang-orang yang meremehkan ilmu. Apabila ada
suatu permasalahan ditanyakan kepadanya, lalu ada yang mengatakan, ‘Itu
permasalahan yang ringan.” Maka Imam Malik pun marah kepada orang tersebut,
lalu mengatakan, “Tidak ada dalam pembahasan ilmu itu sesuatu yang ringan,
Allah berfirman,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ
قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya
Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)
Semua
permasalahan agama itu adalah permasalahan yang berat, khususnya permasalahan
yang akan ditanyakan di hari kiamat.”
Imam
Malik juga seorang yang sangat perhatian dengan penampilannya dan ini adalah
karakter yang ditanamkan ibunya sejak ia kecil. Pakaian yang ia kenakan selalu
rapi, bersih, dan harum dengan parfumnya. Isa bin Amr mengatakan, “Aku tidak
pernah melihat seorang yang berkulit putih ataupun merah yang lebih tampan dari
Malik. Dan juga ia seseorang yang lebih putih dari pakaiannya.”
Imam Malik juga mempunyai firasat yang tajam, Imam Syafii
mengisahkan tentang gurunya ini, sebuah kisah yang menunjukkan kuatnya firasat
sang guru. Kata Imam Syafi’i, “Ketika aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan
Malik, kemudian ia mendengarkan ucapanku. Ia memandangiku beberapa saat dan ia
berfirasat tentangku. Setelah itu ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ Kujawab, ‘Namaku
Muhammad”, Ia kembali berkata, ‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah, jauhilah
perbuatan maksiat, karena aku melihat engkau akan mendapatkan suatu keadaan
(menjadi orang besar)”[9].
3.
Keistimewaan
Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya
lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya
melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk,
kecuali Abdul Karim”. (Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang
menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak
diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal
atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang
pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan
keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi'i berkata, "Imam Malik
adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi'in".
Yahya bin Ma'in berkata, "Imam Malik
adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits"
Ayyub bin Suwaid berkata, "Imam Malik adalah Imam Darul
Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah,
seorang yang dapat dipercaya".
Ahmad bin Hanbal berkata, " Jika
engkau melihat seseorang yang membenci Imam Malik, maka ketahuilah bahwa orang
tersebut adalah ahli bid'ah"
Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i,
" apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti Imam Malik?"
as-Syafi'i menjawab :"aku mendengar dari orang yang lebih tua dan
lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang
(alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti
Malik?
Imam Abu Hanifah berkata, "Aku tidak
pernah melihat seseorang yang lebih pandai tentang sunnah Rasulullah dari
Imam Malik."
Abdurrahman bin Mahdi,
" Aku tidak pernah tahu seorang ulama Hijaz kecuali mereka menghormati
Imam Malik, sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat Muhammad,
kecuali dalam petunjuk."
Ibnu Atsir, "Cukuplah kemuliaan bagi
asy-Syafi'i bahwa syaikhnya adalah Imam Malik, dan cukuplah kemuliaan bagi
Malik bahwa di antara muridnya adalah asy-Syafi'i."
Abdullah bin Mubarak berkata,
"Tidak pernah aku melihat seorang penulis ilmu Rasulullah lebih berwibawa
dari Malik, dan lebih besar penghormatannya terhadap hadits Rasulullah dari
Malik, serta kikir terhadap agamanya dari Malik, jika dikatakan kepadaku
pilihlah Imam bagi umat ini, maka aku akan pilih Malik."
Laits bin Saad berkata,
"Tidak ada orang yang lebih aku cintai di muka bumi ini dari Malik."[10]
4.
Intisari
Kitab Almuwatta Karangan Imam Malik
Al-Muwattha’ berisi uraian konprehensif mengenai praktek normal
dan baku yang dianut di Madinah. Salah satu kelebihan dari kita al-Muwattha’
sebagaimana yang dikemukakan oleh Syeikh Waliyullah al-Dahlawi (1114-1176 H.)
bahwa ia tidak hanya mencakup hadits-hadits doktrinal seperti yang ada
pada al-Kutub al-Sittah, akan tetapi juga mengandung
praktek-praktek aktual dan historis serta petunjuk-petunjuk dari Nabi Saw. dan
para sahabat. Bahkan al-Dahlawi menyatakan bahwa hadits-hadits yang dimuat
di al-Muwattha’ sanadnya lebih unggul dari al-Kutub
al-Sittah. Dengan demikian dia lebih menyukai al-Muwattha,
karena di dalamnya memuat banyak referensi dari kesepakatan ashab
al-salaf dan dalam beberapa hal juga memuat qaul tabi’in
yang menyangkut masalah-masalah yang tidak ada keterangannya dari Nabi Saw. dan
para sahabat. Akan tetapi, Imam Malik juga memasukkan di dalamnya hadits mursal dan mauquf dengan
catatan sanadnya bersambung. Demikian juga dengan hadits balaghat (hadits
yang diriwayatkan dengan kata-kata balaghani), yang menurut
al-Bukhari merupakan hadis yang cela (‘illat), akan tetapi dibantah oleh
Imam Malik. Selain dari yang tersebut, al-Muwattha’ juga
memuat fatwa-fatwa Imam Malik sendiri tentang masalah-masalah fiqh. Karena itu
lah ada ulama yang berpendapat bahwa al-Muwattha’ pada
hakekatnya kitab fiqh, atau kitab hadits yang berjiwa fiqh[11].
Kitab al-Muwatta’ ini, mengandung
hadits-hadits Nabi, pendapat sahabat, qaul tabi’in, ijma’ ahl Madinah dan
pendapat Imam Malik. Akan tetapi terjadi persesihan pendapat dari kalangan para
ulama tentang jumlah hadits yang terdapat dalam kitab al-Muwattha’,
antara lain;
a. Ibnu Habbab yang dikutip
oleh Abu Bakar al-A’rabi dalam syarah al-Tirmidzi menyatakan
ada 500 hadits yang disaring dari 100.000 hadits.
b.Abu Bakar al-Abhari
berpendapat ada 1726 hadits dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf dan
285 qaul tabi’in.
c.Al-Harasi dalam “a’liqah
fi al-Usul” mengatakan kitab Imam Malik memuat 700 hadits dari 9000
hadits yang telah disaring
d.Abu al-Hasan bin Fahr
dalam “Fada’il” mengatakan ada 10.000 hadits dalam kitab al-Muwattha”
Faktor utama yang melatar belakangi dari timbulnya
perbedaan tersebut, terjadi karena perbedaan sumber periwayatan di satu sisi
dan perbedaan cara penghitungan, karena ulama menghitung hadits –hadits
tersebut hanya berdasarkan pada hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi
saja, bahkan ada pula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa sahabat, fatwa
tabi’in yang termaktub dalam kitab al-Muwattha’ tersebut.
Menurut Muhammad Abu Zahra, al-Muwattha’ secara
terperinci sebagai berikut:
a.
Hadits-hadits tematik
tentang Fiqh hasil ijtihad pribadi Imam Malik;
b.
Amalan produk madinah
yang telah menjadi konsensus (ijma’);
c.
Pendapat-pendapat
tabi’in yang dijumpainya;
d.
Pendapat-pendapat
sahabat dan tabi’in yang tidak dijumpainya;
e.
Ijtihad Imam Malik
bersandar pada hadits Nabi, fatwa dan keputusan para sahabat;
f.
Pendapat-pendapat yang
termasyhur di Madinah;
g.
Pendapat-pendapat dan
fatwa tabi’in.
5. Wafatnya Imam Malik
Menjelang waFat, Imam Malik
ditanya masalah kemana ia tak pergi lagi ke Masjid Nabawi selama tujuh tahun,
ia menjawab, "Seandainya bukan karena akhir dari kehidupan saya di dunia,
dan awal kehidupan di akhirat, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepada
kalian. Yang menghalangiku untuk melakukan semua itu adalah penyakit sering
buang air kecil, karena sebab ini aku tak sanggup untuk mendatangi Masjid
Rasulullah. Dan, aku tak suka menyebutkan penyakitku, karena khawatir aku akan
selalu mengadu kepada Allah." Imam Malik mulai jatuh sakit pada hari
Minggu sampai 22 hari lalu wafat pada hari Minggu, tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179
Hijriyyah atau 800 Miladiyyah.
Masyarakat Madinah menjalankan
wasiat yang ia sampaikan, yakni dikafani dengan kain putih, dan disalati diatas
keranda. Imam shalat jenazahnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim
al-Hasyimi yang merupakan gubernur Madinah. Gubernur Madinah datang melayat
dengan jalan kaki, bahkan termasuk salah satu yang ikut serta dalam mengangkat
jenazah hingga ke makamnya. Dia dimakamkan di Pemakaman Baqi', seluruh
murid-murid dia turut mengebumikan dia.
Informasi tentang kematitan dia tersebar di seantero
negeri Islam, mereka sungguh sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan,
seraya mendoakan dia agar selalu dilimpahi rahmat dan pahala yang belipat ganda
berkat ilmu dan amal yang dia persembahkan untuk Islam.
B.
Lahirnya
Dinasti Fatimiyyah
Kekhalifahan
Dinasti Fatimiyah lahir sebagai manifestasi dari idealisme orang-orang syi’ah,
yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan
dari Fatimah Binti Rosulullah SAW. Sebenarnya sekte syi’ah sudah lama
mendambakan dan mencita-citakan berdirinya kekhalifahan yaitu sejak memudarnya
kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, namun mereka selalu mendapatkan tekanan
politik dari dinasti Umayyah dan Abbasiyah sehingga salah satu cara yang
dilakukannya adalah taqiyah, yaitu taat
kepada penguasa secara lahiriyah akan tetapi menyusun kekuatan secara
diam-diam.[12]
Sukses
gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya
melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M.,
dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-Imam
Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah sebagai pusat ibu kota. Ibrahim Ahmad Adawi
dalam bukuhya Tarikh al-‘Alam al-Islami yang dikutip oleh
Abdul Gaffar menjelaskan Raqadah terletak 10 mil dari wilayah qairawan Tunisia
(Afrika Utara). Namun karena Raqadah terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu
qairawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, sekitar 16 mil
arah tenggara Raqadah pada tahun 915. Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah
berdiri di Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn
al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa.[13]
Bosworth
dalam bukunya Dinasti-dinasti Islam menjelaskan khalifah pertama Fathimiyah,
Ubaydillah, datang dari Suriah ke Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah
menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum Berber
Ketama, dia menumbangkan gubernur-gubernur Aghlabiyyah di Iffriqiyah dan
Rustamiyah.[14]
Menurut M.
Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam menjelaskan
bahwa dinasti Aghlabiah berdiri pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid
ketika dia mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah (Tunisia) pada tahun 800 M secara
independen dengan gelar amir. untuk
membendung kekuatan luar yang ingin melemahkan dinasti Abbasiyah, terutama
dinasti Rustamiah (khawarij) dan Idrisiah. Kemudian pada tahun 909 M. Dinasti
Aghlabiah yang dipimpin oleh Ziadatullah al-Aghlabiah III dilenyapkan oleh
dinasti Fatimiah.
Tentang
asal-usul Sa’id, para sejarawan berbeda pendapat, Ibnu al Atsir, Ibnu Khaldun,
Makrizi dan banyak lainnya menyatakan bahwa ia adalah keturunan dari Fatimah,
sedangkan Ibnu Khalikan, Ibnu Ijari, Suyuti, dan Ibnu Taghribirdi menolaknya
sebagai keturunan Fatimah. Menurut Saunders, tidak seorangpun yang dapat melacak
asal-usulnya secara memuaskan. Hal itu dikarenakan oleh model gerakan Syi’ah
yang di bawah tanah atau secara dia-diam, sehingga susah dilacak.
Sepeninggal
Ubaidillah Al Mahdi (909-934 M), kemudian Al-Qaim naik tahta pada (934-946 M),
setelah itu digantikan oleh al-Mansyur pada taahun 946-952 M. Kemudian pada
masa khalifah ke IV, yakni Muiz li Dinillah pada tahun 952-975 M, Kekhalifahan
Fatimiyah memasuki era baru.[15]
Pada masa Mu’iz ini, Kekhalifahan Fatimah menaklukan Mesir karena Mesir
terkenal daerah yang makmur dan penduduknya dapat menerima berbagai aliran
mazhab dengan alasan melindungi kaum Syi’ah yang ada di sana.
Pada masa
Mu’iz inilah puncak kejayaan Kekhalifahan Fatimiyah terukir dan Kairo resmi
dijadikan sebagai pusat pemerintahan.
1.
Kemajuan dinasti
Fatimiyah
Kemajuan-kemajuan yang dialami
dinasti Fatimyah antara lain:
b.
Bidang pemerintahan.
Membangun tata keloa pemerintahan
yang ideal dan baik dan tergolong baru. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana
dinasti Fatimiyah menyusun struktur pengurus pemerintahan berdasarkan
kebutuhan, misalnya adanya tata politik, keuangan, tata administrasi, tata
kemiliteran, tata kepolisian, tata peradilan, departemen kemakmuran, dan urusan
perhubunngan. Pemerintahan ini juga membentuk menteri-menteri untuk memimpin
suatu daerah dan bertanggungjawab kepada khalifah.
c.
Filsafat
Dinasti Fatimiyah dalam menyebarkan
paham Syi’ah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari
pendapat-pendapat Plato, Aristoteles, dan ahli filsafat lainnya. Kelompok
filsafat yang paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah adalah Ikhwan
al-Shafa.[16]
d.
Keilmuan dan Kesustraan
Pada masa dinasti Fatimiyah terdapat
seorang ilmuwan yang sangat terkenal yaitu Ya’qub Idn Killis, yang berhasil
membangun akademi-akademi keilmuan dan menghasilkan ahli fisika, ahli sejarah
dan ahli sastra. Kemajuan yang paling fundamental adalah keberhasilannya
membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Dar al-Hikam, banguna ini
dibangun khusus untuk propaganda doktrin Syi’ah, pada masa ini pula terdapat
perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku yang menjadi bukti majunya
keilmuan pada masa dinasti Fatimiyah.
e.
Bidang ekonomi sosial
Berkat aturan-aturan yang dibuat
sedemikian untuk kemakmuran, akhirnya dinasti Fatimiyah pada zaman Mu’iz ini
tercipta kehidupan yang sangat makmur. Hal ini ditandai dengan missalnya
terjadinya komoditas ekspor-inpor antara Eropa dan Asia, harga barang-barang
murah dan keadaan rakyat sangat bahagia. Pada sisi lain juga ditandai dengan
toko perhiasan dan money charger yang
dibiarkan tidak terkunci. Kemakmuran juga ditandai dengan dibangunnya gedung
enam tingkat sebagai kantor khalifah.[17]
f.
Daerah kekuasaan yang cukup luas dan
pengelolaan yang rapi
Ini dilihat dari daerah kekuasaannya
dari al Maghrib sampai Mesir, kemudian sampai ke Syam, Palestina, Hijaz serta
Yaman.
Dari luansya daerah tersebut,
Dinasti Fatimiyah membagi wilayah kekuasaan menjadi empat bagian, yaitu wilayah
Qus yang meliputi Mesir. Wilayah timur meliputi daerah Bilbis, Qoliub dan
Asyumm, wilayah barat meliputi Manup dan Abyar, wilayah Iskandariah yaitu
meliputi pesisir laut tengah.
g.
Tata pengelolaan tanah/pertanian
yang baik
Pemerintahan ini membangun
infrastruktur untuk kelancaran hasil pertanian, selain itu juga membentuk
atauran-aturan pertanahan yang toleran terhadap petani[18]
serta membuat aturan penggunaan air.[19]
h.
Kairo menjadi pusat perindustrian
tenun.
Pada masa ini, perindustrian tenun
sangat terkenal dan diekspor ke Persia. Pada masa ini juga dibuat aturan-aturan
untuk melindungi para pelaku industri dari hidup bermewah-mewah yang pada saat
itu merata.
i.
Dibangunnya sebuah Universitas
ternama
Pada masa Khalifah al-Aziz (976-996
M), Masjid Al-Azhar mengalami perubahan mendasar, yakni berkembang menjadi
Universitas yang sangat terkenal hingga saat ini. Masjid al-Azhar juga
dijadikan pusat kebudayaan dan hingga akhirnya juga mendirikan akademi
kebudayaan.
2.
Kemunduran
dan Kehancuran
Dinasti Fatimiyah di Mesir mulai mengalami kemunduran ketika
Bani Saljuk bersama pasukannya datang ke Baghdad dan mengusir keluarga Buwaihi[20]
bahkan akhirnya menangkap tokohnya yang bernama al-Bassasiri. Dinasti ini tidak
dapat memberikan pertolongan , hingga akhirnya kemundurannya itu membawa
dinasti ke gerbang kehancurannya.
Faktor yang mempengaruhi kemunduran
antara lain:
a.
Paham atau doktrin Isma’iliyah yang
menekankan terhadap keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan, paham ini
belum dapat diterima sepenuhnya oleh sebagian besar masyarakat yang berpaham
Sunni. Apalagi sejak kebangkitan Sunni
pada abad ke 11-12 Masehi, paham Syi’ah ini banyak ditinggalkan oleh Masyarakat
Islam.
b.
Kesulitan melakukan pengawasan
terhaap daerah-daerah yang telah dikuasainya, seperti daerah besar Mesir,
Syiria, dan Palestina. Hal ini menyebabkan pemberontakan seperti yang dilakukan
keluarga Tayyi dan Pasukan Jarahid yang terus bergolak di Palestina dan
kelompok Qaramithah di Syiria.
c.
Perekrutan tentara dari budak
sehingga menimbulkan konflik karena adanya friksi (perbedaan
pendapat/pergeseran) dalam tubuh militer ketika dari mereka masing-masing
merasa kuat. Selain itu juga ada budak yang menjadi tentara berkulit hitam dari
negeri Sudan yang tidak mau kalah dengan pendahulunya.
d.
Peraturan dan sikap yang aneh pada
masa Khalifah al-Hakim
Misalnya pada masa ini ada dekrit
yang mengharuskan aktivitas negeri boleh ada pada malam hari (dibuka pada
maghrib hingga subuh)[21],
dan pada siang hari dipakai untuk istirahat.
Pada sisi lain, sikap aneh penyebab
kemunduran dinasti Fatimiyah pada masa ini adalah adanya pembakaran dan
penghancuran gereja, serta larangan bagi warga muslim berpakaian Yahudi dan
Kristen. Sikap inilah yang menjadikan masyarakatnya antipati dan kewibawaan
Khalifah menjadi menurun.
e.
Adanya perselisihan antara jendral
dan wazir yang membawa kekacauan cukup parah, adanya wabah penyakit, kelaparan
dan gagal panen pada masa khalifah al-Muntashir (1036 M-1094 M)
f.
Penggantian Wazir/perdana menteri Afdhal
yang tidak berdasarkan keputusan awal pada saat al-Muntashir berkuasa hinggga
menimbulkan pertikaian-pertikaian berkelanjutan[22]
g.
Adanya konspirasi, perselisihan dan dendam
berkelanjutan antara generasi wazir.
Kejadian yang menonjol
yakni pada saat Sawal menjadi Wazir, dia melakukan konspirasi dengan Meric
setelah menghianati Janggi. Tindakan inilah membawa kehancuran bagi Dinasti
Fatimiyah dan akhhirnya tentara Salib menguasai Mesir. Kemudian pada tahun 1169
Syirkuh dapat merebut Mesir, setelah Syirkuh meninggal, kemudian digantikan
oleh Ayyubi yang berideologi Sunni. Pada tahun 1171 M, Ayyubi menghapuskan
kekhalifahan Fatimiyah atas desakan Baghdad dan menggantikannya dengan Dinasti
Ayyubiyah, maka berakhirlah riwayat Fatimiyah.
Dalam
perjalanannya, selama berkuasa selama 200 tahun, Dinasti Fatimyah dipimpin oleh
14 Khalifah, tetapi yang terlihat menonjol berperan adalah hanya 8 Khalifah[23]:
1.
Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi
(909-934), pendiri Dinasti Fatimiyah.
2.
Abu al-Qasim Muhammad al-Qa’im bi
Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
3.
Isma’il al-Mansur bi-llah (946-952).
4.
Abu Tamim Ma’add al-Mu’iz li-Din
Allah (952 M – 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
5.
Abu Mansur Nizar al-‘Aziz bi-llah
(975 M – 996 M).
6.
Abu ‘Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr
Allah (996M – 1021 M).
7.
Abu’l-Hasan ‘Ali al-Zahir li-I’zaz
Din Allah (1021 M – 1036 M).
8.
Abu Tamim Ma’add al-Mustanhir
bi-llah (1036 M – 1094 M).
9.
Al-Musta’li bi-Allah (1094 M-1101
M).
10.
Al-Amir bi Ahkam Allah (1101 M –
1130 M)
11.
Abd al-Majid (1130 M – 1149 M).
12.
Al-Wafir (1149 M – 1154 M).
13.
Al-Fa’iz (1154 M – 1160 M).
14.
Al-‘Adid (1160 M – 1171 M).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Perkembangan islam dan budaya hingga saat ini tidak
bisa lepas dari peradaban dan corak pemikiran ulama-ulama terdahulu, salah
satunya Imam Malik dan dinasti Fatimyah, yang mana dalam hal keagamaan Mazhab
Malikiyah dan 3 Imam Mazhab lainnya menjadi pondasi atau landasan ulama-ulama
kontemporer dalam mengambil hukum. Peran dari dinasti Fatimiyah juga bisa kita
lihat hari ini misalnya tentang tata pengelolaan sebuah pemerintahan, mau tidak
mau, apa yang ada hari ini di belahan dunia manapun turut diwarnai oleh coretan
sejarah dinasti Fatimiyah
B. Saran
Dalam hal pembahasan makalah tersebut, masih banyak
kekurangan baik dari muatan materi maupun literatur-literatur yang menjadi
pendukung. Pada sisi lain juga pembahasan antara Imam Malik dan Dinasti
Fatimiyah adalah dua hal yang berbeda zaman, tentunya di sini mengakibatkan terputusnya
atau kurang relevan jika dua hal (Fatimiyah dan Malikiyah) disandingkan dalam
satu pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq Choirul, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern,
Yogyakarta: STAIN
Ponorogo Press, 2009.
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet ke 4, Bandung: CV
Pustaka
Setia, 2011.
A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. M. Sanusi Latief (Jakarta:
Radar Jaya Offset, 2003)
.
Karim M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet 1, Yogyakarta:
Pustaka Book
Publisher, 2007.
Sunanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam, Cet ke 3,
Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2007.
Mughniyah Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah,
terj.
Masykur A.B.
dkk, Fiqih
Lima Mazhab, Cet 22, Jakarta: Penerbit Lentera,
2008.
ar-Rahbawi Abdul Qadir, As-Salatu ‘ala Mazahibil Arba’ah, terj.
Zeid Husein al
Hamid dan M.
Hasanudin, Salat Empat Mazhab, Cet
10, Jakarta: PT
Pustaka Litera
Antar Nusa, 2008.
http://rm-attaqwa2014.blogspot.co.id/2014/11/perbedaan-mazhab-4-imam-hanafi-maliki.html, diakses pada 04 Oktober 2015 pukul 20.15
http://kisahmuslim.com/biografi-imam-malik/
diakses tanggal 11 November 2015 pukul 19.03
http://pustakasastraarab.blogspot.com/2012/07/resensi-kitab-hadits-al-muwaththa-karya.html#XI0v0RUDIbS9mcE7.99,
diakses pada tanggal 11 November 2015 pukul 19.05
[1] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik
Hingga Modern, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009, hlm 209.
[2] Isma’iliyah adalah salah satu
sekte Syi’ah yang mempercayai bahwa Isma’il merupakan imam ke tujuh setelah
Imam Jafar al-Shiddiq.
[3] Menurut Watt, Syi’ah muncul
ketika adanya peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Siffin, yang kemudian sampai pada
arbitase antara keduanya, setelah itu pengikut Ali terpecah, yang mendukung
dinamakan Syi’ah, sementara yang keluar dari Alli dinamakan Khawarij. Lihat
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
Cet ke 4, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, hlm 90.
[4] Rabi’ah merupakan ulama yang
sangat terkenal waktu itu.
[5] Muhammad Jawad Mughniyah,al-Fiqh
‘ala al-Madzahib al-Khamsah, terj. Masykur A.B. dkk, Fiqih Lima Mazhab, Cet 22, Jakarta: Penerbit
Lentera, 2008, hlm xxvii.
[6] Ibid..., hlm xxviii
[7]Abdul Qadir ar-Rahbawi, As-Salatu ‘ala Mazahibil Arba’ah, terj.
Zeid Husein al Hamid dan M. Hasanudin, Salat Empat Mazhab, Cet 10, Jakarta: PT
Pustaka Litera Antar Nusa, 2008, hlm 5.
[8] http://rm-attaqwa2014.blogspot.co.id/2014/11/perbedaan-mazhab-4-imam-hanafi-maliki.html,
diakses pada 04 Oktober 2015 pukul 20.15
[9] http://kisahmuslim.com/biografi-imam-malik/
diakses tanggal 11 November 2015 pukul 19.03
[10] wilkipedia
[11]http://pustakasastraarab.blogspot.com/2012/07/resensi-kitab-hadits-al-muwaththa-karya.html#XI0v0RUDIbS9mcE7.99,
diakses pada tanggal 11 November 2015 pukul 19.05
[12] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. M. Sanusi Latief (Jakarta: Radar Jaya
Offset, 2003), hlm 168.
[13] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,
Cet 1, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, hlm 190.
[15] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran
dan Peradaban..., hlm 192
[16] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban
Islam..., hlm 215
[17] Ibid..., hlm 200
[18] Misalnya petani tidak diwajibkan
membayar pajak, tanah-tanah yang dimiliki pemerintah ditentukan aturan-aturan
penggunaan dengan peraturan tersendiri, dengan ketentuan apabila tanah itu
diberikan kepada tuan tanah, maka tuan tanah itu diharuskan membayar sejumlah
uang tertentu. Untuk melindungi petani
kecil dari tuan tanah, dikeluarkan peraturan bahwa semua tanah semua tanah yang
dimiliki penduduk tetap menjadi
pemiliknya, sedang tanah yang dimiliki tuan-tuan tanah, maka ditetapkanlah
tuan-tuan tanah itu diberikan kelauasaaan untuk menguasai tanah itu selama 30
tahun dan tiddaka boleh ditambah lagi.
[19] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran
dan Peradaban..., hlm 199
[20] Buwaihi merupakan dinasti kecil
pada masa pemerintahan Abasiyah, yang berkuasa di Irak pada tahhun 945 M.
[21] Menurut al-Hakim, otak manusia
produktif atau subur pada malam hari.
[22] Pada masa ini misalnya setelah
Badar (khalifah setelah al-Muntashir) meninggal, jabatan wazir digantikan oleh
Afdhal, sementara yang dikehendaki/ditunjuk oleh al-Muntashir sebelum meninggal
adalah Nizar/anak tertuanya. Hal ini akhirnya menimbulkan kelompok-kelompok
oposisi yang menentang kepemimpinan Afdhal dan mengakui kekhalifahan Nizar. Hal
ini juga menjadi cikal bakal gerakan Syi’ah ekstrim.
[23] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Cet ke 3, Jakarta: Kencana Pranada
Media Group, 2007, hlm 143.
No comments:
Post a Comment