Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) serentak kini telah dimulai, para kandidat maupun tim
sukses sedang menunggu hasil dari “pertarungan sengit” saat kampanye, khususnya
di Ibu Kota Jakarta yang begitu banyak menyita perhatian masyarakat jagad raya
ini. Belum lenyap dari ingatan kita begitu dahsyatnya “perang” antara tim
sukses bakal calon gubernur Jakarta yang
begitu berlarut-larut hingga menyeret arus ke “ambang perpecahan” antar
kelompok dan golongan. Tak
ayal memang para tim sukses, pendukung
bahkan simpatisan berlomba-lomba
mengerahkan sekuat tenaga dalam upaya memenagkan calon yang didukungnya dengan berbagai
cara dan beragam media yang makin marak di abad ini. (Baca juga Kemendikdasmen Atasi Kekerasan di Dunia Pendidikan)
Dengan semakin banyaknya
media informasi yang mudah diakses, nampaknya dimanfaatkan banyak orang untuk
“mengkampanyekan” calon yang didukugnya, bahkan tidak jarang dari mereka juga
memojokkan lawan politiknya dengan dalih kebebasan pers dsb seperti melalui
facebook dan twitter. Memang dua media tersebut seolah menjadi media yang
paling mudah diakses informasinya oleh semua orang. Dengan media-media social
yang mudah diakses masyarakat tersebut, tentunya tidak hanya membawa dampak
positif, melainkan dampak negative yang begitu besar,
misalnya saja mulai dari munculnya kasus penistaan agama, pembelaan fatwa,
ulama dan sebagainya, yang menurut hemat penulis itu semua digoreng sedemikian
rupa untuk saling menjegal lawan politiknya.
Namun
sangat disayangkan, menurut penulis yang senantiasa mengikuti pemberitaan
tentang hiruk pikuk pilkada serentak tahun ini, khususnya untuk pemilihan
Gubernur Jakarta, nampaknya masyarakat Indonesia tidak cukup cerdas
memanfaatkan media-media sosial tersebut, yang ada malah adanya indikasi akan
terjadi perpecahan jika tidak ditangani serius oleh semua pihak. Kita mungkin
semua tahu, saat munculnya kasus-kasus hukum yang menimpa para kandidat pilkada
Gubernur Jakarta, media informasi khususnya jejaring sosial kian marak disesaki
oleh berita/informasi yang sangat beragam, baik itu mendukung atau kontra
terhadap kasus tersebut. Tidak hanya itu, nampaknya kasus tersebut kian
dimanfaat kan oleh orang-oranag yang tidak bertanggung jawab dengan menggoreng
masalah tersebut kemudian disajikan ke masyarakat yang menyebabkan tambah runyamnya
persoalan tersebut, hingga akhir-akhir ini banyak orang baru tersadar begitu
banyaknya berita hoax (bohong) yang berseliweran di dunia maya.
Berdasarkan
berita-berita yang ramai tentang pilgub Jakarta khususnya baik di media cetak
maupun elektronik, penulis dapat menyimpulkan bahwa Indonesia saat ini sedang
menjadi panggung hiburan yang sangat menarik bagi Negara asing. Kenapa demikian, karena disadari atau tidak masyarakat
Indonesia saat ini lebih memilih “jual beli” masalah yang belum jelas ujung
pangkalnya, ketimbang sama-sama berpikir jernih untuk masa depan bangsa. Hal
ini diperparah lagi oleh sebagian
media online yang dipertanyakan kredibilitasnya serta jejaring sosial yang dengan begitu mudahnya menghujat
dan saling memojokkan bahkan
sudah tidak objektif lagi dalam mewartakan berita dan cenderung
membesar-besarkan masalah yang lagi hangat dan “lezat” untuk “disantap” oleh publik. Baca juga: Peran Jurnalistik Sebagai Kontrol Pembangunan dan Pendidikan)
Tentunya
hal ini juga akan menjadi
kesenangan tersendiri bagi Negara asing, karena masyarakat Indonesia mudah
digoyang persatuan dan kesatuannya hanya dengan persoalan beda pilihan
yang dibungkus seacara apik atas nama agama dan “kesucian”. Bayangkan saja seandainya hal ini terjadi terus
menerus tanpa adannya kesadaran masyarakat untuk saling menghargai perbedaan,
maka dapat dipastikan Indonesia akan menjadi seperti semula, menjadi
pulau-pulau kecil yang berantakan. Untuk itu kesadaran
masyarakatlah yang paling penting untuk bisa bersama-sama saling menghargai
perbedaan dan pandai-pandailah untuk menyerap informasi yang berseliweran di
dunia maya. Denga begitu, maka sedikit banyak masyarakat sudah berupaya untuk
bersama-sama menjaga kesatuan NKRI.
No comments:
Post a Comment