A.
Latar Belakang
Masyarakat adalah gabungan dari kelompok
individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Dalam kepustakaan
ilmu-ilmu sosial dikenal tiga bentuk masyarakat, yaitu: 1) masyarakat homogen;
2) masyarakat majemuk; dan masyarakat heterogen.
Masyarakat homogen ditandai oleh adanya ciri-ciri yang anggotanya tergolong dalam satu asal atau satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Masyarakat homogen dapat ditemukan dalam satuan-satuan masyarakat berskala kecil tetapi juga ada yang terwujud dalam masyarakat berskala besar seperti masyarakat Jepang. Sedangkan masyarakat majemuk terdiri atas sejumlah suku bangsa yang merupakan bagian dari bangsa itu, seperti masyarakat Indonesia atau masyarakat Amerika. Selanjutnya masyarakat heterogen memiliki ciri-ciri bahwa; 1) pranata-pranata primer yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa telah diseragamkan oleh pemerintah nasional; 2) kekuatan-kekuatan politiksuku bangsa telah dilemahkan oleh sistem nasional melalui pengorganisasianyang berlandaskan pada solidaritas; 3) memiliki pranata alternatif yang berfungsi sebagai upaya untuk mengakomodasi perbedaan dan keragaman; 4) adanya tingkat kemajuan yang tinggi dalam kehidupan ekonomi dan teknologi sebagai akibat dari pranata-pranata alternatif yang beragama tersebut.[1]
Masyarakat homogen ditandai oleh adanya ciri-ciri yang anggotanya tergolong dalam satu asal atau satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Masyarakat homogen dapat ditemukan dalam satuan-satuan masyarakat berskala kecil tetapi juga ada yang terwujud dalam masyarakat berskala besar seperti masyarakat Jepang. Sedangkan masyarakat majemuk terdiri atas sejumlah suku bangsa yang merupakan bagian dari bangsa itu, seperti masyarakat Indonesia atau masyarakat Amerika. Selanjutnya masyarakat heterogen memiliki ciri-ciri bahwa; 1) pranata-pranata primer yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa telah diseragamkan oleh pemerintah nasional; 2) kekuatan-kekuatan politiksuku bangsa telah dilemahkan oleh sistem nasional melalui pengorganisasianyang berlandaskan pada solidaritas; 3) memiliki pranata alternatif yang berfungsi sebagai upaya untuk mengakomodasi perbedaan dan keragaman; 4) adanya tingkat kemajuan yang tinggi dalam kehidupan ekonomi dan teknologi sebagai akibat dari pranata-pranata alternatif yang beragama tersebut.[1]
Elizabeth K. Notittingham yang dikutip oleh
Jalaludin membagi masyarakat menjadi tiga tipe, dalam pembagian ini Elizabeth
menggunakan pendekatan sosiologi agama. Tipe pertama adalah masyarakat yang
terbelakang dan memiliki nilai-nilai sakral. Kedua, masyarakat praindustri yang
sedang berkembang. Ketiga, adalah masyarakat industri sekuler.
Dalam masyarakat tipe pertama menurut
Elizabeth, setiap anggota menganut agama yang sama; oleh karena itu keanggotaan
dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke
dalam aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat ekonomis, politik,
kekeluargaan maupun rekreatif. Sedangkan dalam masyarakat praindustri yang
sedang berkembang, organisasi keagamaan sudah terpisah dari organisasi
kemasyarakatan. Di masyarakat ini organisasi keagamaan merupakan organisasi
formal yang mempunyai tenaga profesional tersendiri. Walaupun agama masih
memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai kepada kehidupan masyarakat ,
namun pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan sekuler masih dapat
dibedakan. Agama sudah tidak sepenuhnya menyusup ke aktivitas kehidupan
masyarakat, walaupun masih ada anggapan bahwa agama masih dapat diaplikasikan
secara universal dan lebih tinggi dari norma-norma kehidupan sosial sehari-hari
pada umumnya.
Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat tipe ini
menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perorangan dan
pembentukan citra pribadinya. Walaupun tidak sekental tipe yang pertama, pada masyarakat
tipe yang kedua ini agama ternyata masih
difungsikan dalam kehidupan masyarakat. Namun terlihat ada kecenderungan peran
agama kian bergeser ke pembentukan sikap individu.
Kemudian pada masyarakat industri sekuler ,
organisasi keagamaan terpecah-pecah dan bersifat
majemuk. Ia melihat di masyarakat moderen yang kompleks ini, ikatan antara
organisasi keagamaan dan pemerintahan duniawi tidak ada sama sekali. Karena
itu, agama cenderung dinilai sebagai bagian dari kehidupan manusia yang
berkaitan dengan persoalan akhirat, sedangkan pemerintahan berhubungan dengan
kehidupan duniawi.[2]
Selain itu, Prof. Dr. Mukti Ali yang dikutip
oleh Jalaludin juga mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah
sebagai etos pembangunan. Maksudnya adalah
bahwa agama yang menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini dan
dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam
sikap.
Selanjutnya nilai moral tersebut akan
memberikan garis-garis pedoman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai
dengan ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan yang dilarang agama dijahuinya
dan sebaliknya selalu giat dalam menerapkan perintah agama, baik dalam
kehidupan pribadi maupun demi kepentingan orang banyak. Dari tingkah laku dan
sikap yang demikian tercermin suatu pola tingkah laku yang etis . Penerapan
agama lebih menjurus keperbuatan yang bernilai akhlak mulia dan bukan untuk
kepentingan lain. Segala bentuk perbuatan individu maupun masyarakat selalu dalam
suatu garis yang serasi dengan peraturan dan aturan agama dan akhirnya akan
terbina suatu kebiasaan yang agamis.
Selain menjadi ethos dalam pembangunan Prof.
Dr. Mukti Ali juga mengemukakan peranan agama dalam pembangunan yaitu sebagai
motivasi. Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong
seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik.
Pengalaman ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam
peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan.
Keyakinan akan balasan Tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan
ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk berbuat tanpa imbalan
material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan hari akhirat lebih di
dambakan oleh penganut agama yang taat.
Peranan-peranan positif
ini telah membuahkan hasil yang kongkret dalam pembangunan baik berupa sarana
maupun prasarana yang dibutuhkan.
Sumbangan harta benda dan milik untuk
kepentingan masyarakat yang berlandaskan ganjaran keagamaan telah banyak
dinikmati dalam pembangunan, misalnya:
1.
Hibbah dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana ibadah ataupun
lembaga pendidikan.
2.
Dana yang terpakai untuk pembangunan lembaga pendidikan dan rumah-rumah
ibadah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya.
3.
Pengerahan tenaga yang terkoordinasi oleh pemuka agama dalam membina
kegotongroyongan.
Melalui motivasi keagamaan seseorang terdorong
untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau pemikiran.
Pengorbanan seperti ini merupakan aset yang potensial dalam pembangunan.[3]
Max
Weber masih dikutip oleh
Jalaludin melihat ada hubungan antara etos agama ini dengan pembangunan
ekonomi. Ia melihat kemajuan ekonomi liberal Eropa dan Negara Barat, didukung
oleh etika dari ajaran agama Protestan (Protestant
Etich). Pandangan seperti itu juga dikaitkan dengan oleh sejumlah pengamat
dengan kemajuan bangsa Jepang. Keunggulan bangsa Jepang dinilai erat kaitannya
dengan nilai-nilai ajaran agama shinto yang bertitikan Bushido, yaitu ketundukan kepada pemimpin.
Dengan mitos “kaisar” sebagai titisan dewa
matahari, etos kerja masyarakat Jepang dapat diarahkan pada pembangunan
bangsanya. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di thailand, dengan nilai
ajaran Budhanya. Sedangkan masyarakat Bali terkait pula dengan etos ajaran
agama Hindu Bali. Sudah sejak lama di masyarakat Bali penghormatan kepada
pemuka agama tetap terjaga.
Di Kutai Timur
baru-baru ini telah dihebohkan dengan kasus pemahaman keagamaan cukup berbeda yang dikenal dengan nama ajaran “Guru Bantil”. Ajaran
Guru Bantil tersebut mulai mencuat kontroversinya sekitar sejak tahun
2010/2011, hal ini menjadi perhatian semua pihak, khususnya lembaga-lembaga
keagamaan termasuk pemerintah daerah karena ajaran Guru Bantil diindikasikan
menyimpang dari ajaran Islam.
Sebuah ajaran keagamaan yang dikatakan baru dan
berbeda serta dianggap menyimpang dari ajaran Islam tersebut menjadi perhatian serius Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan Kementrian Agama (Kemenag) Kutai Timur karena dianggap ajaran-ajaran Islam yang
disampaikan tidak sesuai syari’at islam, misalnya seperti puasa cukup sehari
dalam satu bulan Ramadhan, sholat dengan dua imam, zakat diri dan sebagainya.
Bahkan menurut MUI Kabupaten Kutai Timur dalam rapat yang digelar dengan
menghadirkan dari berbagai lembaga keagamaan (Kemenag Kutim, BKPRM, Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah) dan pihak kepolisian, menyimpulkan ada sekitar 20 (dua
puluh) item ajaran yang diindikasikan menyimpang dari syari’at Islam[4].
Dalam perkembangannya, ternyata ajaran Guru Bantil
menjadi perhatian serius karena dianggap tidak mengindahkan nasehat atau arahan dari berbagai lembaga keagamaan khususnya MUI selaku lembaga kegamaan
yang bertanggungjawab, dan kini Guru Bantil (seorang yang bertanggungjawab) diamankan
oleh pihak keamanan yang berwajib dengan alasan mengajarkan ajaran islam yang menyimpang dari
syari’at[5].
Menjadi menarik di sini adalah satu sisi banyak para
pengikut Guru Bantil yang fanatik dan mengikuti ajarannya, tapi sisi lain banyak lembaga keagamaan yang mengatakan ajaran Guru Bantil menyimpang,
untuk itu peneliti merasa tertarik untuk meneliti apa yang sebanarnya terjadi
dengan ajaran Guru Bantil dengan judul “Persepsi
Masyarakat Tentang Ajaran Guru Bantil di
Dusun Rantau Bemban Kecamatan Sangatta Utara”.
No comments:
Post a Comment