PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam konteks penelitian, filologi selama ini dikenal
sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau yang berupa tulisan.
Studi terhadap karya tulis masa lampau dilakukan karena adanya anggapan bahwa
dalam peninggalan tulisan terkandung nilai-nilai yang masih relevan dengan
kehidupan masa kini. Banyak orang ingin mengetahui referensi-referensi
pengetahuan khususnya berupa bentuk tulisan ke sumber aslinya, untuk itu
filologi kian ramai dalam dunia penelitian.
Berbeda dengan produk masa kini, hasil cipta masa
lampau tidak selalu dapat diterima dengan jelas sebagai akibatnya banyak
tulisan
masa lampau dirasakan tidak mudah dipahami. Karakteristik karya-karya tulis dengan kondisi seperti tersebut menuntut pendekatan yang memadai. Untuk membaca karya-karya tersebut diperlukan ilmu yang mampu menyiangi kesulitan akibat kondisinya sebagai produk masa lampau. Dalam hal inilah ilmu filologi diperlukan.
masa lampau dirasakan tidak mudah dipahami. Karakteristik karya-karya tulis dengan kondisi seperti tersebut menuntut pendekatan yang memadai. Untuk membaca karya-karya tersebut diperlukan ilmu yang mampu menyiangi kesulitan akibat kondisinya sebagai produk masa lampau. Dalam hal inilah ilmu filologi diperlukan.
Dalam kurun waktu 50 tahun ini, penelitian
filologi telah maju dengan pesat. Seperti halnya ilmu lain, teknologi modern
telah menunjang perkembangannya.[1] Studi
filologi merupakan studi yang sangat signifikan dalam hal mengkaji warisan
budaya yang tersebar dibelahan dunia termasuk di Indonesia. Studi filologi
berkonsentrasi pada pengkajian terhadap naskah-naskah kuno.
Filologi adalah ilmu pengetahuan tentang
sastra-sastra dalam arti luas mencakup bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan.[2] Disiplin
filologi pernah mencapai prestasi spiritual dan ilmiah pada berbagai periode
dalam tradisi besar termasuk tradisi Barat dan tradisi Islam.[3]
Filologi sudah dikenal sejak abad ke-3 SM oleh sekelompok ahli di kota
iskandariyah yang dikenal sebagai ahli filologi.
Sejarah perkembangan filologi terus
berlanjut ke kawasan timur tengah pada abad ke-4 M, kemudian menyebar ke
kawasan Nusantara pada abad ke-16 M.
Nusantara dikenal sebagai negara yang kaya
dengan khazanah budaya peninggalan masa lampau. Salah satu diantaranya adalah
peninggalan dalam bentuk naskah-naskah lama dengan tulisan tangan, dimana objek
kajian filologi sendiri adalah teks dan naskah. Keduanya diibaratkan dua
sisi dari sebuah mata uang.
Perlu dicatat bahwa jumlah naskah-naskah
milik pribadi (Nusantara) yang banyak diakses karena dianggap suci (keramat). Itupun
baru naskah berbahasa arab, belum lagi naskah-naskah dalam bahasa daerah
nusantara lainnya seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Batak, dan lain-lain
yang tidak jarang juga memuat teks-teks keagamaan. Nurcholis Madjid pernah
mengatakan, bahwa naskah-naskah “kita” terdapat dalam jumlah jutaan.
Kawasan Nusantara terbagi dalam berbagai
etnis dengan ciri khas masing-masing tanpa meninggalkan sifat khas kebudayaan
Nusantara.Keinginan untuk
mengkaji naskah-naskah Nusantara hadir setelah ketangan bangsa Barat. Yang
kemudian telaah naskah dilanjutkan oleh para penginjil. Dari perkembangan
filologi ini pula lahir para tokoh-tokoh filologi Nusantara yang berperan dalam
perkembangan filologi[4].
Cabang ilmu ini memang belum banyak dikenal oleh
masyarakat luas, terutama di kalangan masyarakat Islam. Kekayaan dan warisan
intelektual Islam menjadi terabai, padahal warisan inteletual yang berupa karya
tulis itu sedemikian banyaknya. Di Indonesia saja, banyak peninggalan kitab
klasik yang ditulis oleh ulama nusantara. Misalnya Imam Nawawi al-Bantani yang
telah menulis tidak kurang dari seratus kitab berbahasa Arab dalam berbagai
bidang keilmuan. Contoh lain, Syekh Mahfudh at-Tarmasy yang menulis hingga 60
kitab meliputi tafsir, qiraah, hadits, dan sebagainya.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang
pendekatan filologi serta ruang lingkupnya dan kaitannya dengan kajian stui
Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu Filologi?
2.
Apa tujuan dan fungsi
Filologi?
3.
Metode-Metode
Penelitian Teks?
4.
Bagaimana Filologi
dalam Kajian Studi Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, filologi adalah ilmu tentang bahasa,
kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam
bahan-bahan tertulis.[5]
Filologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “philos” yang
berarti ‘cinta’ dan“logos” diartikan “kata”. Pada kata “filologi”
kedua kata itu secara harfiyah membentuk arti “cinta kata-kata” atau “senang
bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar” atau “senang
kebudayaan”. Sedangkan dalam bahasa Arab, filologi adalah ilmu tahqiq
an-nushush (penelitian untuk mengetahui hakikat suatu tulisan).[6]
Webster’s
New Collegiate Dictionary (1953) mendefinisikan filologi ke dalam tiga hal,
yaitu:
1.
cinta
pengetahuan atau cinta sastra, yaitu studi sastra, dalam arti luas termasuk
etimologi, tata bahasa, kritik, sejarah sastra dan linguistik;
2.
ilmu
linguistik;
3.
studi
tentang budaya orang-orang beradab sebagaimana dinyatakan dalam bahasa, sastra,
dan religi mereka, termasuk studi bahasa dan perbandingannya dengan bahasa
serumpun, studi tata bahasa, etimologi, fonologi, morfologi, semantik, kritik
teks, dll
Filologi sebagai istilah, pertama kali diperkenalkan oleh Erastothenes,
dan kemudian dipergunakan oleh sekelompok ahli dari Iskandariyah
sejak abad ke-3 S.M. Sekelompok ahli ini bekerja dengan tujuan untuk menemukan
bentuk asli teks-teks lama Yunani. Sebagai istilah, filologi mempunyai definisi
yang sangat luas, dan selalu berkembang.
1.
Filologi sebagai Imu
Pengetahuan
Filologi pernah disebut sebagai L’etalage de
savoir ‘pameran ilmu pengetahuan’. Hal ini dikarenakan filologi membedah
teks-teks klasik yang mempunyai isi dan jangkauan yang sangat luas. Gambaran
kehidupan masa lampau, berserta segala aspeknya, dapat diketahui melalui kajian
filologi. Termasuk di dalamnya, berbagai macam ilmu pengetahuan dari berbagi
macam bidang ilmu.
2.
Filologi sebagai Ilmu
Sastra
Filologi juga pernah dikenal sebagai ilmu sastra. Hal
ini dikarenakan adanya kajian filologi terhadap karya-karya sastra masa lampau,
terutama yang bernilai tinggi. Kajian filologi semakin merambah dan meluas
menjadi kajian sastra karena mampu mengungkap karya-karya sastra yang bernilai
tinggi.
3.
Filologi sebagai Ilmu
Bahasa
Teks-teks masa lampau yang dikaji dalam filologi,
menggunakan bahasa yang berlaku pada masa teks tersebut ditulis. Oleh karena
itu, peranan ilmu bahasa, khususnya linguistik diakronis sangat diperlukan
dalam studi filologi.
4.
Filologi sebagai Studi
Teks
Filologi sebagai istilah, juga dipakai secara khusus
di Belanda dan beberapa negara di Eropa daratan. Filologi dalam pengertian ini
dipandang sebagai studi tentang seluk-beluk teks, di antaranya dengan jalan
melakukan kritik teks.
Filologi dalam perkembangannya yang mutakhir, dalam
arti sempit berarti mempelajari teks-teks lama yang sampai pada kita di dalam
bentuk salinan-salinanya dengan tujuan menemukan bentuk asli teks untuk
mengetahui maksud penyusunan teks tersebut. Filologi dalam arti luas berarti
mempelajari kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana yang
terdapat dalam bahan-bahan tertulis.[7]
Mereka meneliti teks-teks lama dari bahasa Yunani dengan tujuan menemukan
bentuknya yang asli dan bebas dari kesalahan penulisan serta mengetahui tujuan
penulisnya. Dari kegiatan ini dapat diketahui pentingnya pengkajian secara
mendalam terhadap bahasa dan kebudayaan yang melatar belakangi lahirnya teks.
Kegiata filologi yang menitikberatkan pada bacaan yang salah ini disebut
dengan filologi tradisional. Kemudian istilah filologi dipakai
sebagai sastra ilmiah, ketika teks-teks yang dikaji berupa sastra yang bernilai
tinggi, seperti karya Yunani kuno. Selanjutnya istilah filologi digunakan untuk
menyebut studi bahasa dan ilmu bahasa (linguistik). Karena
pentingnya peranan bahasa dalam mengkaji teks sehingga kajian utamanya adalah
bahasa, dan terutama bahasa teks-teks yang lama. Sedangkan istilah filologi dalam
arti studi teks adalah suatu studi yang melakukan penelaahan dengan mengadakan
kritik teks.[8]
Dalam perkembangannya, kajian filologi menitikberatkan pada perbedan yang
ada dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat
perbedaan-perbedaan sebagai alternatif yang positif. Dalam hubungan inilah
suatu naskah dipandang sebagai penciptaan kembali (baru), karena mencerminkan
perhatian yang aktif dari pembacanya. Sedangkan berbagai bacaan atau varian
yang ada diartikan sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami,
menafsirkan, dan membetulkan teks yang dianggap tidak tepat. Dalam proses
pembetulan ini harus dikaitkan dengan ilmu bahasa, sastra, budaya, keagamaan,
dan tata politik yang ada pada zamannya. Cara kerja filologi yang demikian
disebut dengan filologi modern. Maka yang dimaksud dengan istilah
filologi adalah usaha dalam memahami teks sebuah naskah dengan memperhatikan
berbagai kajian, yang dimaksudkan untuk memurnikannya dari kesalahan-kesalahan
dalam proses penyalinan.
B.
Tujuan dan Fungsi Filologi
Secara umum filologi
bertujuan untuk menertibkan, menyunting dan menganalisis suatu naskah kuno[9]. Tentu
dalam hal ini sangat memertlukan disiplin-disiplin ilmu lainnya, seperti
sejarah, filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah agama, dan sejarah
perkembangan hukum (terutama hukum adat). Maka dapat dikatakan bahwa secara
praktis penelitian filologi dilakukan untuk tujuan menunjang ilmu-ilmu lain.
Sedangkan secara metodologis dilakukan karena banyaknya naskah kuno yang masih
harus diuji otentisitas isi kandungan atau teksnya. Pengujian otentisitas atau
kemurnian suatu teks harus dilakukan secara cermat dan kritis terhadap semua
varian yang terdapat dalam teks, yang dimaksudkan agar dapat menghasilkan suatu
teks yang mendekati aslinya.[10]
Kemungkinan varian teks
dalam berbagai naskah dapat dilihat dari riwayat kemunnculan teks itu sendiri.
De Haan berpendapat bahwa proses terjadinya teks ada beberapa kemungkinan,
sebagai berikut:
1. Aslinya ada dalam ingatan pengarang, dan apabila seseorang ingin memiliki
teks itu dapat menulisnya melalui dikte. Maka setiap teks diturunkan (ditulis)
dapat bervariasi, dan perbedaan teks adalah bukti dari berbagai pelaksanaan
penurunan dan perkembangan cerita sepanjang hidup pengarang.
2. Aslinya adalah teks tertulis kurang lebih merupakan kerangka yang masih
memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni.
3. Aslinya merupakan teks yang tidak memungkinkan untuk diadakan penyempurnaan
karena pengarangnya telah menentukan pilihan kata yang ketat dalam bentuk
literer. Hal ini pada zaman sekarang yang sudah ada mesin fotocopi tidak begitu
merupan kendala, tetapi pada zaman dulu sebuah naskah diperbanyak dengan cara
menulis ulang dengan tangan dan resiko kesalahan sangat dimungkinkan. Beberapa
kesalahan disebabkan antara lain; penyalin kurang memahami bahasa atau pokok
persoalan naskah yang disalin, atau mungkin karena tulisannya kurang jelas
(kabur/buram), atau karena ketidak telitian penyalin sehingga beberapa huruf
hilang (haplografi).[11]
Sedangkan secara rinci dapat dikatakan bahwa filologi
mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus, di antaranya adalah:
Tujuan umum:
1.
Memahami sejauh mana
perkembangan suatu bangsa melalui sastranya, baik tulisan maupun lisan.
2.
Memahami makna dan
fungsi teks bagi masyarakat penciptanya.
3.
Mengungkapkan
nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan.
Tujuan khusus:
1.
Menyunting sebuah teks
yang dipandang dekat dengan teks aslinya.
2.
Mengungkapkan sejarah
terjadinya teks dan sejarah perkembangannya.
3.
Mengungkapkan persepsi
pembaca pada setiap kurun atau zaman penerimaannya.[12]
Sedangkan kegunaan dari
hasil penelitian filologi adalah sebagai suatu informasi yang sangat berharga
bagi khalayak umum dan dapat digunakan oleh cabang-cabang ilmu lain, seperti
sejarah, hukum, agama, kebahasaan, kebudayaan. Nabilah Lubis yang mengutip
perkataan Haryati Soebadio bahwa filologi adalah pekerjaan kasar yang
menyiapkan suatu naskah untuk bisa dipergunakan oleh orang lain dalam berbagai
disiplin ilmu. Jadi hasil dari penelitian naskah merupakan sumbangan pemikiran
yang sangat berarti, terlebih dalam rangka memperkenalkan buah pikiran para
pendahulu, sehingga dapat di kenal dan diketahui oleh generasi berikutnya.
Namun dalam sebuah
catatan, kajian filologi ini mempunyai kompleksitas dalam penggunaan teks
sastra sebagai kajian sumber sejarah, misalnya pandangan
yang diungkapkan oleh P. E. de Josselin de Jong, ketika membahas ciri Sejarah Melayu. Dia mencontohkan Salasilah Kutai sebagai teks sejarah Melayu yang mengandung fungsi takhayul
sebagai pemelihara mitos negara yang dipakai dalam ritual negara. Akan tetapi,
dia juga menunjukkan perbedaan ciri antara historiografi Jawa dan Sedjarah
Melaju. Menurutnya, atmosfer Sejarah Melayu lebih realistik. Meskipun demikian,
eksposisi Jong, menurut Ras, secara implisit menyatakan bahwa sebaiknya
Sedjarah Melaju diklasifikasikan bersama teks-teks Jawa modern seperti Babad Tanah Djawi dari pada dengan teks-teks Jawa Kuno dari masa Hindu. Jika hal ini
diterima sebagai sesuatu yang pada dasarnya benar, tetap masih ada persoalan
apakah bagian dari Sedjarah Melaju yang berhubungan dengan mitos masa lalu
ditulis oleh pengarang yang sama dengan bagian-bagian yang berhubungan dengan perkembangannya
yang kemudian.[13]
C.
Metode-Metode Penelitian Teks
Metode dapat dipahami
sebagai cara atau sistem kerja. Sedangkan metologi dapat dikatan sebagai
pengetahuan tentang apa saja yang merupakan cara untuk menrangkan atau
meramalkan variabel konsep maupun definisi konsep yang bersangkutan dan mencari
konsep tersebut secara empiris. Maka metode filologi dapat diartikan
pengetahuan tentang cara, teknik, atau instrumen yang dilakukan dalam
penelitian filologi. Mengacu pada pekerjaan utama seorang filolog yang berusaha
mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan dan memberikan pengertian
dengan sebaik-baiknya dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai naskah yang
paling dekat dengan aslinya, maka ada beberapa metode untuk mengedit dan menyunting
naskah klasik agar tugas tersebut dapat terlaksana dengan baik. Beberapa
langkah yang harus dilakukan dalam hal ini adalah:
1.
Inventarisasi naskah
Langkah pertama yang
harus ditempuh oleh penyunting setelah menemukan pilihan terhadap naskah yang
ingin disunting adalah menginventarisasikan sejumlah naskah dengan judul yang
sama dimana pun berada tanpa terkecuali. Naskah dapat dicari melalui katalogus
perpustakaan-perpustakaan besar yang menyimpan koleksi naskah, museum-museum,
universitas-universitas, masjid, gereja, dan lain sebagainya.
2.
Deskripsi naskah
Langkah selanjutnya
adalah menyusun deskripsi masing-masing naskah. Jadi setiap naskah yang
diperoleh diuraikan secara terinci, teratur, dan masing-masing naskah diberi
tanda/kode.
3.
Pengelompokan naskah dan
perbandingan teks
Dalam melakukan
pengelompokan naskah, proses awal yang harus dilakukan adalah mengadakan
penelitian yang cukup mendalam sehingga dapat diketahui hubungan antar varian,
perbedaan, persamaan, dan hubungan antar berbagai naskah yang ada. Proses
penelitian yang dilakukan pra pengelompokan naskah dapat dikerjakan dengan
mengadakan kritik teks, baik kritik internal atau eksternal. Langakh
selanjutnya adalah mengadakan perbandingan teks untuk mengetahui apakah ada
perbedaan bacaan di antara semua naskah.
Beberapa cara yang
dilakaukan dalam melakukan perbandingan adalah:
a. Membandingkan kata demi kata untuk membetulakan kata-kata yang salah
b. Membandingkan susunan kalaimat atau gaya bahasa untuk mengelompokkan cerita
atau teks yang berbahasa lancar dan jelas
c. Membandingkan isi cerita (uraian teks) untuk mendapatkan naskah yang isinya
lengkap dan tidak menyimpang serta untuk menentukan hubungan antar naskah,
minimal peneliti harus mengetahui mana teks yang asli dan mana teks yang ada
unsur tambahan dari penyalin.
Setelah melakukan
beberapa perbandingan di atas, maka selanjutnya peneliti memilih salah satu
naskah yang telah diperiksa dan dibandingkan untuk dijadikan sebagai landasan
dalam edisi.
4.
Transliterasi
Transliterasi ialah
penggantian huruf atau pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad
yang lain, misalnya dari huruf Arab-Melayu ke huruf Latin. Dapat juga berarti
perubahan teks dari satu ejaan ke ejaan yang lainnya, misalnya naskah-naskah
yang tertulis dengan huruf Latin yang memakai ejaan lama diubah ejaan yang
belaku sekarang (EYD). Namun tidak hanya itu saja tugas dari seorang filolog
agar tidak lagi terdapat kekeliruan dalam membaca dan menafsirkan naskah,
tetapi juga harus mampu menyajikan bahan transliterasi atau transkip dengan selengkap
dan sebaik mungkin, seperti tanda baca titik, koma, huruf besar dan kecil, dan
lain sebagainya.
5.
Terjemahan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
menerjemahkan teks, di antaranya adalah:
a. Terjemahan harfiyah, adalah menerjemahkan dengan menuruti teks sedapat
mungkin, yang meliputi kata demi kata.
b. Terjemahan agak bebas, adalah seorang penerjemah diberi kebebasan dalam
proses penerjemahannya, tetapi kebebasannya masih pada batas kewajaran.
c. Terjemahan yang sangat bebas, adalah penerjemah bebas melakukan
perubahan, baik menghilangkan bagian, menambah, atau meringkas teks.
6.
Metode intuitif
Penyalinan berulang
kali terhadap teks mengakibatkan terjadinya beberapa naskah yang beraneka
ragam. Di Eropa Barat untuk mengetahui bentuk asli dari karya-karya itu,
dilakukan langkah mengambil suatu naskah yang dipandang baik dan dianggap yang
paling tua lalu disalin lagi. Dalam penyalinannya, pada tempat-tempat yang
tidak jelas atau diperkirakan terdapat kesalahan pada naskah, segera dibetulkan
berdasarkan naskah lain dengan pertimbangan akal sehat, selera baik, dan
pengetahuan bahasa maupun disiplin ilmu yang menjadi pokok bahasan naskah
tersebut. metode ini bertahan sampai abad ke 19 M, sebelum akhirnya muncul
metode objektif.
7.
Metode objektif
Metode ini bertujuan mendekati teks asli melalui
data-data naskah dengan memakai perbandingan teks.
8.
Metode gabungan
Metode ini dipakai
apabila nilai naskah menurut dugaan filologi semuanya hampir sama. Pada umumnya
naskah yang terpilih adalah yang mempunyai bacaan mayoritas atas dasar
perkiraan bahwa jumlah naskah itu merupakan saksi bacaan yang benar. Dengan
metode ini, teks yang disunting merupakan teks baru dan gabungan dari semua
naskah yang ada.
9.
Metode landasan
Metode ini diterapkan
apabila menurut tafsiran ada beberapa naskah yang unggul kualitasnya
dibandingkan dengan naskah-naskah yang lain. Hal ini dapat diketahui apabila
diadakan penelitian yang cermat terhadap bahasa, kesastraan, sejarah, dan
segala hal tentang teks.
10. Metode analisis struktur
Analisis struktural
terhadap sebuah karya bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin keterkaitan
semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang
menyeluruh.
11. Metode penelitian naskah tunggal
Apabila peneliti hanya
menemukan satu naskah untuk teks yang akan diedit, maka hanya ada dua pilihan,
yaitu: melakukan edit diplomatik (suatu cara mereproduksi teks
sebagaimana adanya tanpa ada perbaikan atau perubahan dari editor), atau
melakukanedit standar (suatu usaha perbaikan dan meluruskan teks
sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimangan yang timbul ketika
proses penulisan).
D.
Pendekatan Filologi dalam Studi Islam
Az-Zamakhsyari,
sebagaimana dikutip Nabilah Lubis, mengungkapkan kegiatan filologi sebagai
tahqiq al-kutub. Secara bahasa, tahqiq berarti tashhih
(membenarkan/mengkoreksi) dan ihkam (meluruskan). Sedang secara istilah, tahqiq
berarti menjadikan teks yang ditahkik sesuai dengan harapan pengarangnya, baik
bahasanya maupun maknanya. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa tahqiq
bertujuan untuk menghadirkan kembali teks yang bebas dari kesalahan-kesalahan
dan sesuai dengan harapan penulisnya. Tahqiq sebuah teks atau nash adalah
melihat sejauh mana hakikat yang sesungguhnya terkandung dalam teks tersebut.
Bangsa
Arab pra-Islam dikenal dengan karya-karya syair maupun sastra prosanya. Karya
yang paling terkenal adalah “Muallaqat” (berarti “yang tergantung), karya-karya
yang berupa qasidah-qasidah panjang dan bagus yang digantungkan pada dinding
Ka’bah dengan tujuan agar dibaca masyarakat Arab pada hari-hari pasar dan
keramaian lainnya.
Penelitian naskah Arab telah lama dimulai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Pada masa itu, nash al-Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf. Hal ini membutuhkan ketelitian untuk menyalin teks-teks al-Quran ke dalam mushaf tersebut. Ayat-ayat al-Quran yang sebelumnya tertulis secara berserakan pada tulang belulang, kulit pohon, batu, kulit binatang, dan sebagainya dipindah dan disalin pada sebuah mushaf dan dijadikan satu. Pekerjaan menyalin ayat-ayat al-Quran ini dilaksanakan dengan ketelitian menyangkut orisinalitas wahyu ilahy yang harus senantiasa dijaga.
Penelitian naskah Arab telah lama dimulai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Pada masa itu, nash al-Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf. Hal ini membutuhkan ketelitian untuk menyalin teks-teks al-Quran ke dalam mushaf tersebut. Ayat-ayat al-Quran yang sebelumnya tertulis secara berserakan pada tulang belulang, kulit pohon, batu, kulit binatang, dan sebagainya dipindah dan disalin pada sebuah mushaf dan dijadikan satu. Pekerjaan menyalin ayat-ayat al-Quran ini dilaksanakan dengan ketelitian menyangkut orisinalitas wahyu ilahy yang harus senantiasa dijaga.
Setelah
Islam tumbuh dan berkembang di Spanyol pada abad ke-8 Masehi sampai abad ke-15
Masehi, pada zaman Dinasti Bani Umayyah ilmu pengetahuan Yunani yang telah
diterima bangsa Arab kemudian kembali ke Eropa dengan epistemologi Islam.
Puncak kemajuan karya sastra Islam ini mengalami kejayaannya pada masa Dinasti
Abbasiyah. Karya tulis al-Ghazali, Fariduddin Attar, dan lainnya yang bernuansa
mistik berkembang maju di wilayah Persia dan dunia Islam. Karya Ibnu Rusyd,
Ibnu Sina dan yang lain menjadi rujukan wajib mahasiswa dan merupakan lapangan
penelitian yang menarik pelajar di Eropa.
Dalam
konteks keindonesiaan, manuskrip Islam terbagi ke dalam tiga jenis. Pertama,
manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi, yakni naskah yang
ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Ketiga, manuskrip Pegon, yakni
naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti,
bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Manuskrip
keislaman di Indonesia lebih banyak berkaitan dengan ajaran tasawuf, seperti
karya Hamzah Fansuri, Syeh Nuruddin ar-Raniri, Syeh Abdul Rauf al-Singkili, dan
Syeh Yusuf al-Makassari. Tidak sedikit pula yang membahas tentang studi
al-Quran, tafsir, qiraah dan hadis. Misalnya Syeh Nawawi Banten dengan tafsir
Marah Labib dan kitab Al-Adzkar. Ada pula Syeh Mahfudz Termas dengan Ghunyah
at-Thalabah fi Syarh ath-Thayyibah, al-Badr al Munir fi Qiraah Ibn Katsir dan
karya-karyanya yang lain. Sebagian karya-karya tersebut sudah ditahqiq, dalam
proses tahqiq, dan dicetak tanpa tahqiq .Sementara sebagian besar lainnya masih
berupa manuskrip. Padahal umumnya, karya kedua tokoh ini juga menjadi rujukan
dunia Islam, tidak hanya di Indonesia.
Menilik
dari sangat banyaknya khazanah klasik yang ada di Nusantara, merupakan sebuah
pekerjaan besar untuk mentahqiq kitab-kitab peninggalan ulama klasik tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Filologi merupakan kajian penelitian yang terbilang belum familiar di
Indonesia, namun disiplin pendekatan penelitian filologi penting keberadaannya
untuk mengjaji teks-teks kuno. Filologi sebagai sebuah istilah telah dikenal
sejak abad ke 3 sebelum masehi oleh sekelompok ilmuan di Iskandariah.
Dalam perkembangannya, kajian filologi menitikberatkan pada perbedan yang
ada dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat
perbedaan-perbedaan sebagai alternatif yang positif.
B.
Saran
Kajian filologi di Indonesia
belum banyak diketahui dan dipakai banyak orang, untuk itu ke depan
mudah-mudahan praktisi-praktisi dan lembaga pendidikan serta praktisi peneliti
hendaknya memasyarakatkan pendekatan penelitian filologi tersebut.
[3] http://journal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/download/diakses pada 08 Maret
2016.
[7] http://peternggili-pedrozhaqoutez.blogspot.co.id/2013/11/filologi-dan-sastra-klasik.html, diakses pada
tanggal 08 Maret 2016
[9] Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang
Perpustakaan pada Pasal 1 Ayat 4, bahwa naskah kuno adalah semua dokumen
tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang
berada di dalam negeri maupun diluar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) tahun dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional,
sejarah dan ilmu pengetahuan.
Blasius Sudarsono, menyoroti pengertian Naskah kuno adalah darah
kehidupan sejarah, naskah tulisan tangan ini dapat dianggap sebagai salah satu representative dari berbagai sumber
lokal yang paling otoritatif dan paling otentik dalam memberikan berbagai
informasi sejarah pada masa tertentu. Naskah kuno merupakan salah satu warisan
budaya bangsa diantara berbagai artefak lainnya, yang kandungan isinya
mencerminkan berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat serta perilaku
masyarakat masa lalu. Ditemukannya naskah kuno membuktikan perkembangan budaya
literasi yang menjadi representasi dari berbagai sumber paling otentik dalam
memberikan berbagai informasi sejarah pada masa tertentu. (Lihat: Blasius
Sudarsono, Perpustakaan Cinta dan
Teknologi (Jakarta : ISIPII, 2009, hlm.13)
No comments:
Post a Comment