Breaking

Tuesday, December 29, 2015

Meminimalisir Noda Hitam Pesta Demokrasi


Tidak terasa pesta demokrasi tahun 2015 melalui pemilihan langsung (Pemilu) sudah di ambang pintu, bahkan proses menuju ritual lima tahunan tersebut untuk memilih seorang kepala daerah sudah berjalan dan atmosfir kompetisi pun mulai terasa. Tidak heran ketika para calon kepala daerah yang akan berkompetisi berlomba-lomba untuk mencari simpati masyarakat dan
mendulang dukungan suara sebanyak-banyaknya dengan kreatifitas dan cara-cara yang berbeda, mulai dari memanfaatkan media sosial, pemasangan poster, “blusukan”, bahkan menyambangi rumah-rumah penduduk.
Memang pemilihan langsung (pemilu) saat ini diyakini menjadi proses yang ideal dalam memilih pemimpin secara demokratis, namun ada hal yang menurut penulis perlu menjadi perhatian bersama, yakni nilai yang ada dalam proses pemilu tersebut tetap terjaga seperti kejujuran, keadilan, keterbukaan dan sebagainya.
Berkaca dari pemilu legislative 2014 lalu dan pada pemilu-pemilu sebelumnya, nuansa persaingan dan ketegangan sangat mungkin akan muncul ke permukaan, baik dirasakan oleh para calon itu sendiri, tim sukses, penyelenggara pemilu, bahkan juga oleh simpatisan-simpatisan yang menginginkan jagonya menang dan tampil untuk menduduki singga sana yang sangat mahal “harganya”. Perasaan geram, gusar, pingin ketawa bercampur marah, ataupun senang pun mungkin itu menjadi ekspresi kita semua ketika membaca atau melihat berita-berita di media massa tentang warna-warni pemilu, seperti halnya pemilu legislative yang dilaksanakan 9 April 2014 lalu.
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian terkait proses pemilu, yakni masyarakat yang notabenenya menjdai pemilih agar tidak golput. Memang, pemilu kala itu (pemilu legislative 2014) kelihatannya dapat mengurangi angka golput dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pasalnya pada pileg kala itu sebagian masyarakat mempunyai jago masing-masing yang didukungnya.  Namun, sisi lain dari proses pileg kala itu patut menjadi perhatian kita semua, terlebih khusus bagi penyelenggara pemilu. Kita semua mungkin lihat berita-berita di media cetak maupun elektronik tentang noda-noda pelanggaran pemilu yang mengurangi keindahan daya tarik pesta demokrasi di bangsa ini. Berita mulai dari permasalahan proses penetapan daftar caleg, daftar pemilih, dan hal-hal lain yang menjadi perangkat pemilu  senantiasa menghiasi keseharian kita semua, dan yang paling menyita perhatian menurut penulis adalah pasca pemilihan 9 April 2014 lalu.
Ada banyak cerita yang bisa menjadi pelajaran penting bagi bangsa kita ke depan, khususnya menjelang hari H pemilihan, seperti halnya ada dugaan bagi-bagi uang untuk calon pemilih,  dan ketika proses pemilu itu berlangsung. Pada pemilu kali ini, di tempat penulis berdomisili khusunya, banyak catatan-catatan pelanggaran yang menodai pesta demokrasi tersebut, seperti data yang dirilis Kaltim Post edisi 12 April 2014, terdapat 12 laporan pelanggaran, baik yang bersifat administratif maupun pidana. Misalnya saja adanya pemilih yang ingin mencoblos lebih dari satu kali, permainan KPPS entah disengaja atau tidak, dan yang lebih parah lagi adanya dugaan jual beli surat undangan C-6, dan mungkin masih banyak lagi isu-isu kecurangan pemilu yang tidak terdeteksi oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Mungkin inilah yang namanya “demokrasi”, semua orang bebas melakukan apa saja tanpa mempedulikan efek yang diakibatkan baik secara langsung maupun jauh di masa depan. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan jikalau betul-betul bangsa ini ingin maju dan bebas dari cengkraman KKN yang saat ini menjadi musuh bersama. Mengacu pada pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln (demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat), maka seluruh masyarakat Indonesia tentunya berhak dan bertanggungjawab atas proses demokrasi yang dibangun dalam bangsa ini.
Di tengah maraknya isu-isu kasus korupsi yang menjerat para wakil rakyat, maka dari itu tentu perlu diperbaiki mulai dari proses pemilihan wakil rakyat itu sendiri. Proses pemilu ke depan tentu harus diperbaiki dan ada upaya yang serius untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Menurut penulis, yang menjadi akar sumber dari kecurangan adalah sumber daya manusia itu sendiri, baik pihak penyelenggara maupun peserta pemilu yang tidak mempunyai integritas dan nilai-nilai kejujuran. Untuk mengatasi hal tersebut memang bukanlah hal yang mudah, karena persoalan yang diatasi sangat abstrak berkaitan dengan jiwa seseorang, namun masalah tersebut juga tidak boleh menyurutkan langkah penyelenggara pemilu dalam upaya perbaikan. Menurut penulis ada langkah yang progresif oleh penyelenggara pemilu tentang perbaikan sistem yang dapat meminimalisir kecurangan-kecurangan tersebut, antara lain:
Pertama Komisioner Penyelenggara Pemilu (KPU) sebagai penyelenggara dan pemegang kebijakan perlu melakukan restrukturisasi ataupun roling pihak-pihak penyelengara di bawahnya, misalnya PPK, PPS dan sebagainya dalam upaya meminimalisir ikatan emosional yang dapat membuka peluang terjadinya kecurangan.
Kedua, KPU juga harus memperbaiki perangkat pemilu, misalnya surat undangan harus disertai dengan tanda dari KPU yang tidak bisa diduplikat, contohnya memakai hologram/sejenisnya, serta memperbaiki tinta tanda telah mencoblos, karena sampai sejauh ini isu-isu yang terdengar tinta tersebut masih bisa dihapus dalam waktu yang singkat.
Ketiga, Berkaca pada pileg tahun 2014 lalu, penulis menemukan informasi tentang kebingunagan masyarakat mengenai pemilu tersebut, untuk itu ke depan,  KPU juga betul-betul memastikan informasi tentang pemilu tersebut sampai pada masyarakat, tidak hanya mengacu pada informasi dari pihak PPK, PPS atau RT, melainkan dari masyarakat itu sendiri, karena bisa jadi di situ ada pemalsuan informasi. Dalam hal ini mungkin dari KPU sudah ada upaya maksimal, namun belum tentu upaya itu ketika sampai pada PPK, PPS, ataupun RT sampai juga pada masyarakat luas.
Keempat, Dalam hal pemutakhiran data,pemilih, hendaknya KPU juga melibatkan pihak-pihak yang mempunyai idealisme tinggi, misalnya saja mahasiswa yang identik dengan idealismenya. Karena sumber masalah pemilu juga berkaitan erat dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT), untuk itu perlu melibatkan pihak-pihak yang mempunyai idealisme tinggi guna mendapatkan data yang valid.
Kelima, Dalam hal pendistribusian surat undangan pemilih, hendaknya KPU betul-betul mengawal sampai pada tingkat paling bawah (masyarakat), karena sangat dimungkinkan akar terjadinya jual beli surat undangan bisa jadi terletak pada PPK, PPS ataupun RT, misalnya membentuk tim untuk kroscek terkait pendistribusian surat undangan betul-betul sampai pada tuannya.
Keenam, Dan yang paling penting ketika proses pemilu di lapangan, hendaknya KPU membuat kebijakan berkaitan dengan perangkat pemilih, misalnya saja ketika masyarakat hendak memilih harus menggunakan surat undangan yang syah beserta KTP calon pemilih. Tanpa hal tersebut, akan sangat sulit untuk mengidentifikasi bahwa surat undangan yang dibawa calon pemilih betul-betul memang haknya atau punya orang lain, karena pada pemilu-pemilu sebelumnya banyak terjadi surat undangan tak bertuan alias orang yang tidak mempunyai KTP, bahkan bukan penduduk setempat bisa mencoblos. Terakhir, “kerjasama” yang solid antara penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Panwaslu betul-betul perlu dijalin secara profesional dan pro aktif sebagai mitra kerja yang sama-sama bertanggungjawab atas terselenggaranya pemilu.



No comments:

Post a Comment

Adbox