Breaking

Wednesday, December 30, 2015

Makalah Asbabul Wurud Hadist

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki posisi sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am (umum),
mujmal (global) atau mutlaq. Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kapada umat manusia mengenai al-Qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat diartikan bahwa Hadis berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhadap al-Qur’an. Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika kemudian Imam al-Auza’i pernah berkesimpulan bahwa al-Qur’an sesungguhnya lebih membutuhkan kepada al-Hadis daripada sebaliknya. Sebab secara tafshili (rinci) al-Qur’an masih perlu dijelaskan dengan Hadis[1].
Hingga wafatnya Nabi SAW keyakinan umat Islam terhadap hadits tidaklah berubah[2]Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam (baik berupa perintah maupun larangannya) sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-qur’an. Hal ini karena hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an, karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa alqur’an, karena al-qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syariat. Dengan demikian. Antara hadits dengan al-qur’an memiliki kaitan sangat erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri[3].
Disamping sebagai sumber hukum kedua sesudah Al-Qur’an, Hadis mempunyai dua fungsi yakni menjelaskan maksud kandungan Alqur’an dan menerangkan hukum-hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh kongkrit adalah hukum shalat, zakat, dan haji. Di dalam alqur’an perintah melaksanakan ibadah tersebut sangat jelas, tetapi tidak diterangkan berapa kali ibadah shalat harus dilaksanakan dalam sehari semalam, dan berapa pula rakaatnya. Masalah zakat tidak diterangkan berapa pula nishab dan jenis barang apa yang yang wajib dizakati. Jenis tanaman dan binatang apa, serta berapa persen zakatnya, sama sekali tidak diterangkan. Demikian pula halnya masalah haji, tidak ditegaskan cara mengerjakannya. Semua itu hanya diketahui secara jelas dari perbuatan dan ucapan Rasulullah[4].
Secara historisitas penulisan ataupun pengkodifikasian hadits relatif sangat jauh dari masa hidup Nabi. Dari sinilah kemudian timbul penilaian-penilaian miring yang dengan sengaja di lakukan oleh non-muslim untuk menstereotipkan keberadaan hadits di mata umat Islam. Hal ini bisa menimbulkan akibat yang lebih berbahaya dari pada serangan fisik[5].
Non-muslim yang mengkaji Islam secara umum khususnya di Barat disebut juga orientalis. Sebelumnya para orientalis mengkaji Islam hanya pada meteri-materi keislaman secara umum, seperti bidang sastra dan sejarah. Kemudian berkembang meliputi kajian tentang Al-Qur’an, teks Al-Qur’an, Hadits Nabi, Teologi Islam dan Sufisme. Belakangan ini mereka mulai serius dengan kajian Hadits Nabi, karena kajian tentang Al-Qur’an dinilai gagal.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para kaum orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi hadis Nabi itu sendiri. Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi  yang berubah.
Hingga akhirnya pada zaman yang terus berkembang dan tantangan juga semakin berat, perlu juga bagi setiap muslim untuk mengetahui hadis-hadis yang bisa dijadikan pedoman (hadis) shohih, untuk itu perlu pendekatan-pendekatan yang dilakukan dari berbagai hal mengenai hadis, salah satunya adalah melalui asbabul wurud dan metode pemahaman hadis. Di bawah ini akan dibahas secara singkat tentang ruang lingkup asbabul wurud hadis dan metode pemahamannya.

B.       Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa itu pengertian hadis?
2.      Apa itu pengertian asbabul wurud?
3.      Seperti apa sebab-sebab turunnya hadis?
4.      Bagaimana metode memahami hadis?


BAB II

PEMBAHASAN


A.      Pengertian Hadis

Hadis menurut bahasa artinya al jadid (baru[6]), pesan keagamaan, berita, pembicaraan, di dalam al Qur’an, kata al hadits disebut berulangkali dengan makna-makna tersebut. Misalnya: 1). “Allah menurunkan sebaik-baik al hadits, yaitu Al Qur’an” (QS Al-Zumar: 23), di sini al hadits artinya pesan keagamaan. 2). “Apakah sudah sampai kepadamu hadits tentang Musa?” (QS Thaha: 9), di sini hadits artinya cerita. 3). “Maka hendaknya mereka menddatangkan hadits yang seperti itu jika mereka orang-orang yang benar” (QS At-Thur: 34), hadits di sini artinya khabar/berita[7]. Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli hadis berpendapat bahwa hadis adalah sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi SAW[8].  
Secara terminologi, hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat[9]. Dalam beberapa literatur, hadis itu sinonim dengan sunnah, yang mana sunnah juga didefinisikan oleh ahli ahli hadis secara terminologi berarti sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat, watak atau tingkah laku Nabi SAW baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudah menjadi Nabi. Sedangkan yang lain berpendapat sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan[10].
Namun, dalam literatur lainnya ada yang mengatakan hadis dan sunnah itu sedikit berbeda, yang mana hadis dari tinjauan Abdul Baqa’ adalah isim (kata benda) dari tahdits yang berarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan dan penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi saw.[11]

B.       Pengertian Asbabul Wurud Hadis

Secara etimologis, asbabul wurud merupakan susunan idhafah (kata majemuk) yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya[12]. Sedangkan wurud merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari warada, yaridu, wurudan yang berarti datang atau sampai. Dengan demikian, secara sederhana dapat diartikan bahwa asbabul wurud adalah sebab-sebab datangnya sesuatu.
Secara terminologi menurut As-suyuti asbabul wurud diartikan sebagai sesuatu yang menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, khusus, mutlak, muqoyyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits.[13]
Lain halnya menurut Hasbi Ash Shiddiqie, mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut, yang artinya:
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi SAW menuturkannya[14].
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau yang lainnya yang terjadi pada saat hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, nasakh atau mansukh dan sebagainya.[15]

C.      Sebab-Sebab Turunnya Hadis

Menurut imam  as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Sebab yang berupa ayat al-Qur’an.
Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah SWT dalam Q.S. Al-An’am: 82.
Orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk.

Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian “jaur” yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan  dalam surat al-Luqman: 13 yang artinya: “sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.
2.      Sebab yang berupa Hadis itu sendiri.
Artinya pada waktu  itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh:
Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. Hakim).

Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).  Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: iya benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi). Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenazah itu jahat. 
3.      Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata:
“Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi bersabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memenuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini, Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya)[16].

D.      Urgensi Asbabul Wurud

Asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, cultural, bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis. Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbabul wurud akan cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.
1.    Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk: Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.
2.    Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3.    Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4.    Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalam suatu hadis. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
5.    Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)
Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya hadis yang berbunyi:
Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad).[17]

Pengertian shalat dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda :” shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat dengan berdiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi:
“Barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapa yang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)

Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakan kata yang mutlaq baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi SAW keudian berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut. 
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda : “Man Sana Sunatan Hasanah
Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam hadis tersebut adalah sunnah yang baik.[18]
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain. Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat`[19]

E.       Metode Pemahaman Hadis

Yusuf Al Qardawi memberikan beberapa pedoman, tentang memahami hadis[20], yaitu :
1.        Memahami sesuai petunjuk Al Qur'an, seperti firman Allah dalam surah Al An’am: 115, yang artinya: “Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimatNya dan Dia lah maha mendengar lagi maha mengetahui”
Dari situ jelaslah bahwa Al Qur’an adalah “ruh” dari eksistensi islam dan asas bangunanya. Ia merupakan konstitusi dasar yang pertama dan kepadanya bermuara segala perundang-undangan islam. Sementara hadis/sunnah merupakan penjelas, jadi tidak mungkin penjelas bertentangan dengan yang dijelaskan. Oleh sebab itu, menurut Yusuf Qardhawi bahwa “penjelas” tidak mungkin bertentangan dengan “apa yang dijelaskan” itu sendiri.
Contoh misalnya hadis tentang kaum wanita, yang berbunyi:
',Bermusyautarahlah dengan mer eka, tetapi bertindahlah b erhutanan
dengan (hasil musyawarah) rnqeka." Ini adalah hadis yang tidak sah dan dipalsukan. Sebab ia bertenrangan dengan firman Allah SWT berkenaan dengan apa yang harus dilakukan oleh kedua orangrua terhadap anak bayi mereka yang masih menyusu, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah; 233)., yang artinya:
"... Maka apabila keduanya ingin mennyapih (sebelum si,bayi berusia dua tahun) dengan kerelann keduanya dan sebagai permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya".[21]

Dan apabila ada perbedaan pemahaman diantara para fuqaha, maka yang paling kuat adalah yang dekat dengan petunjuk Al-Qur’an.

2.        Menghimpun hadis-hadis yang se-tema.
Menurutnya, untuk memahami hadis secara benar harus menghimpun hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan satu tema tertentu. Kemudian mengembalikannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mautlaq dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khaas.
Contoh, misalnya hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan "mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki" yang mengandung ancaman cukup keras terhadap pelakunya. Yaitu hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat bersemangat, untuk menujukan kritik yang rajam terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub (baju gamis)-nya sehinga di atas mata kaki. Sedemikjan bersernangarnya mereka, sehingga hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan tsaub lni, sebagai syiar Islam terpenting atau kewajibannya yang mahaaguirrg. Dan apabiia menyaksikan seorang 'alim atau da’i Muslim yang tidak memendekkan tsaub-nya, seperti yang mereka sendiri melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalarn hati, atau adakalanya menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang yang "kurang beragama"! Padahal, seandainya kalau mereka mau mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadis-hadis seperti itu. Dan sebagai akibatnya, mereka akan mengurangi ketegaran sikap mereka dan tidak menyimparg terlaiu jauh dari kebenaran, serta tidak akan mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.[22]
3.        Menggabungkan atau mentarjihkan antar hadis-hadis yang tampak bertentangan.
Pada dasarnya tidak ada nash-nash yang bertentangan, seandainya adapun tampak luarnya saja, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Dan atas dasar itu menurut Yusuf Qardhawi, pertentangan itu dapat dihilangkan melalui:
Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan arrtara kedua nash, tanpa harus rnernaksakan atau rnengada-ada, sehingga keduaduanya dapat diamalkan, rnaka yang dernikian itu lehrh utama daripada harus mentarjihkan antala keduanya Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lainnya. Contohnya adalah para ulama menolak hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah tentang pengharaman bagi perempuan memandang laki-laki, walaupun laki-laki itu buta, karena itu dianggap dhaif dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, Fatimah Binti Qais, yang membolehkan wanita memandang laki-laki yang bukan mahromnya “ Dari Aisyah ra katanya: Rosululloh SAW menutupi diriku dengan rida’ (kain selendang) beliau sementara aku menonton orang-orang Habasyah menunjukkan kemahiran mereka di Masjid[23]”.
Menurut Al Qadhi ‘Iyadh, dari hadis tersebut dapat disimpulkan bolehnya kaum wanita memandang pekerjaan laki-laki yang bukan mahrom. Adapun yang tidak disukai adalah memandang bagian-bagian (tubuh) yang indah serta merasa senang dengan itu.
Alqurthubi juga berkata “ Para Ulama telah menyimpulkan dari hadis ini bahwa perempuan boleh melihat bagian tubuh laki-laki, sama seperti yang boleh dilihat oleh oleh laki-laki dari perempuan. Seperti kepala dan telinga tempat menggantungkan anting-anting, tetapi tidak boleh melihat bagian yang termasuk aurat”.[24]
4.        Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi hadis ketika diucapkan diperbuat serta tujuaannya.
Salah satu cara untuk memahami hadis adalah memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatar belakangi diucapkannya suatu hadis.
Contoh misal hadis yang berbunyi “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian”. Hadis ini oleh sebagian orang dijadikan dalih untuk menghindar dari hukum syari’at berbagai bidang ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Sebab semua itu yang mereka dakwakan menurtnya adalah urusan dunia kita dan kita lebih mengerti tentangnya. Tentu hal ini bertentangan dengan tugas manusia yang harus bertanggungjawab juga tentang urusan-urusan dunia dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya.
Dari sini, hadis tersebut diatas ketika diucapkan Nabi SAW perlu ditinjau/dilihat alasan atau situasi dan kondisi saat itu waktu hadis itu diucapkan oleh Nabi.[25]
5.        Mampu membedakan antara sarana yang berubah-­ubah dengan sasaran yang tetap.
Maksudnya adalah perlunya membedakan sarana dan sasaran dari hadis itu, mengingat sebagian orang mencampur adukkan antara tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh suatu hadis dengan sarana temporer yang kadangkala menunjang pencapaian sasaran yang dituju. Mereka memusatkan diri pada berbagai prasarana seolah-olah itu memang merupakan tujuan sebenarnya. Padahal, menurut Yusuf Al Qardhawi, siapa yang benar-benar ingin memahami hadis serta rahasia-rahasia yang dikandungnya akan tampak bahwa yang terpenting adalah apa yang menjadi tujuan yang hakiki. Itulah yang abadi, sedangkan sarananya dapat berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Misalnya tentang resep-resep pengobatan thabib an-nabawi, seperti berbekam adalah sebaik-baik pengobatan, jintan adalah obat dari segala penyakit, bercelak membuat penglihatan jadi jelas dsb. Intasari dari hadis tersebut, menurut Yusuf Qardawi, bukanlah dari sarananya (bekam, jintan/bercelak), melainkan pentingnya menjaga kesehatan dan berusaha mencari kesembuhan (jika sakit) yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat islam.
6.        Mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan bersifat metafora.
Yang dimaksud di sini adalah perlunya memahami suatu teks hadis melalui bahasanya, itu majaz atau ungkapan sebenarnya. Misalnya waktu itu Rosululloh saw berkata kepada istri-istri beliau: “Yang paling cepat menyusulku diantara kalian sepeninggalku adalah yang paling panjang tangannya”. Dari perkataan tersebut, para istri-istri Rasul mengira panjang tangannya dalam bentuk lahir, hingga kata Aisyah: mereka saling mengukur panjang tangannya. Bahkan menurut riwayat laian ada yang menggunakan sepotong bambu untuk mengukur tangan itu. Padahal yang dimaksud “panjang tangannya” oleh Rosulullah saw adalah orang yang paling banyak kebaikan dan kedermawannya.
7.        Mampu membedakan antara hadis yang berkenaan dengan alam gaib (kasat mata) dengan yang tembus pandang.
Dari sekian banyak hadis Nabi, diantaranya ada juga yang berkaitan dengan yang ghaib, makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat oleh manusia. Misalnya Malaikat diciptakan oleh Allah SWT untuk melakukan tugas-tugas tertentu ataupun misalnya tentang alam barzah, kursy, lauhul mahfuz, dsb. Hal ini menurut Yusuf Qardhawi perlu diperhatikan betul mengingat terkadang akal manusia tidak mampu sepenuhnya untuk mengkaji atau mendalami hal-hal yang berkaitan dengan hal ghaib, untuk itu perlunya adanya pembedaan antara yang ghaib dan kasat mata agar mampu memahami hadis itu sendiri.contoh misal hadis yang artinya:
“Ada pohon di Surga yang (sedemikian besarnya) seseorang berjalan di bawah keteduhannya dalam waktu seratus tahun pun, belum cukup melewatinya”.[26]


8.        Mampu Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.
Ini penting dilakukan, sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah-ubah dari satu masa ke masa yang lain, dan dari ssatu lingkungan ke lingkungan yang lainnya. Pertimbangannya adalah adakalanya suatu kelompk manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk kata-kata tertentu pula. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata yang ada dalam sunnah tersebut sesuai dengan istilah mereka yang baru ( atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja), nah di sini nantinya akan timbul kerancuan dan kekeliruan. Perubahan ini makin lama akan makin meluas dengan pergantin tempat dan waktu serta perkembangan yang dialamai oleh manusia. Sehingga dengan demikian kesenjangan akan makin meluas dengan konotasi aslinya yang digunakan ddalam syari’at, dan yang dikenal kemudian dalam istilah-istilah baru yang mutakhir. Dari sinilah timbul kekeliruan dan kesalah pahaman yang sebetulnya tidak disengaja, disamping adanya penyimpangan sejarah dan distorsi yang memang disengaja.
Itulah yang diperingatkan oleh para pakar dan peneliti dari kalangan ulama besar; yakni digunakannya istilah-istilah syariat secara rancu sehingga lama keiamaan, penerapannya menjadi lebih dominan untuk konsep-konsep baru yang diciptakan kemudian. Demikianlah, siapa saja yang tidak memperhatikan ketentuan ini, pasti akan tergelincir ke dalam banyak kekeliruan, sebaga.imana yang kita saksikan sekarang. Ambillah ,sebagai contoh, kata tashwir (pembuatan gambar atau Pembentukan rupa) yang disebutkan dalam beberapa_hadis sahih_yang disepakati.  Apa kira-kira yang dimaksud dengannya dalam hadis-hadis yang mengancam para mushawwir (pembuat gambar) dengan azab yang amat pedih?
Tidak sedikit dari kalangan orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan hadis dan fiqih, memasukkan dalam ancaman ini, para ahli foto (yang dalam bahasa Arab sekarang disebut mushawwir - penerj.) yang menggunakan kamera mereka untuk mengambil garnbar-gambar tertentu. Apakah penamaan mereka yang menggunakan kamera ini dengan sebutan mushawwir dan pekerjaan mereka disebut tashwir sudah ada sejak dahulu kala dalam bahasa Arab? Tentunya tak seorang pun akan menyatakan bahwa ketika bangsa Arab mulai mengenal kata ini, telah terlintas dalam benak mereka mengenai hal tersebut. Jelas bahwa penamaan seperti ini hanyalah berdasarkan kebiasaan setempat semata-mata. Dan tidak ada seorang pun akan berkata bahwa ini adalah penamaan berdasarkan syariat. sebab, seni fotografi ini sarna sekali belum dikenal pada masa tasyri'. Maka tak mungkin kata tersebut (dalam hadis) dimaksudkan untuk ditujukan kepada si ahli foto, sedangkan ia belum ada pada waktu itu. Jelas bahwa itu adalah istilah baru berdasarkan suatu kebiasaan yang baru pula. Kita sendiri atau orang-orang tua kita yang pertama kali menyaksikan munculnya hasil teknologi itulah yang telah memberinya nama tashwir fotograhfi. Bisa saja mereka menamainya dengan suatu istilah lain. Misalnya, mereka dapat menamainya 'aks (pemantulan) dan pelakunya disebut 'akkas’ (pemantul gambar) seperti yang dikatakan oleh penduduk Qatar dan kawasan Teluk. Seseorang dari mereka akan pergi ke tempat tukang foto ('aKkas) lalu berkata kepadanya: "Saya minta Anda melakukan 'aKKs untuk saya (yakni mengambil foto dirinya). Dan barangkali istilah
yang mereka gunakan itu lebih dekat kepada inti pekerjaan itu sendiri. Sebab, pada hakikatnya, hal itu tidak lebih dari memantulkan gambar dengan cara tertentu. Seperti halnya gambar sesuatu yang terpantul dalam cermin. Dan seperti itulah yang disebutkan oleh Asy-syaikh
Muhammad Bakhit Al-Muth!'iy, mufti Mesir di zanmannya. yaitu dalam risalah yang ditulisnya berjudul Al-Jawab al-Kafiy fi Ibahat At-Tashwir Al-Fotoghrafi (Jawaban Tuntas tentang Dibolehkannya Fotografi). Dan sebagaimana orang-orang sekarang menamakan gambar fotografi (dalam bahasa Arab) sebagai tashwir; mereka juga menamakan tashwir mujassam atau gambar yang berbentuk tiga dimensi sebagai naht (pahatan). Yaitu yang oleh para ulama dahulu kala disebut "gambar yang berbayarg", dan yang mereka sepakati hukumnya haram, selain yang berbentuk mainan anak-anak (atau semacam boneka). Adakah penggunaan kata naht (pahatan) bagi tashwir jenis ini membebaskan pembuatnya dari ancaman keras yang terdapat dalam hadis-hadis tentang tashwir dan mushawwir? Tentunya tidak. Sebab tashwir jenis inilah yang paling tepat memenuhi makna tashwir yang terlarang, baik dari segi bahasa maupun syariat.




BAB III

PENUTUP


A.      Simpulan

Hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al qur’an. Dalam pengertaian beberapa ulama, ada yang mengatakan hadis beda dengan sunnah, tapi bagi sebagain lain hadis sinonim dengan sunnah. Begitu penting posisi hadis sebagai sumber hukum ke dua setelah al qur’an, maka untuk betul-betul selektif mengetahui hadis yang akan dijadikan dasar rujukan dalam menjalankan syari’at islam, perlu diketahuai dari berbagai aspek, salah satunya dengan mengetahui asbabul wurud dan metode memahami hadis itu sendiri.

B.       Saran

Dari tinjauan pembahasan tersebut di atas, masih terlihat cukup banyak kekurangan, misalnya saja terkait metode pendekatan hadist tahlili, ijmali, muqaramin untuk orang awam yang ingin tahu hadis akan kesulitan untuk memahaminya. Begitu juga hal yang disampaikan oleh Yusuf Al Qardhawi pada sebagaian point mudah dipahami, tapi sebagaian lain tentu memerlukan kajian yang mendalam untuk memahami hadis. Dari berbagai metode memahami hadis tersebut di atas, terlihat jelas masih ada kesulitan untuk orang-orang yang tidak konsentrasi dalam mempelajari hadis akan kesulitan memahami hadis secara utuh.


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad’Ajjaj al-Khatib,  Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud study kritis
hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual,  (Yogyakarta PT:
Pustaka Pelajar, 2001)

H.M Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa
Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr
Al-Islam, Edisi I (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2003)

Zainuddin MZ dkk, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press.2011)

A.Mudjab Mahalli Menelusuri Makna Sabda Nabi. (Yogyakarta: Izzan
Pustaka.2001)

M. Noor Sulaiman L, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),
cet.I

Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003), cet. II

Al-Tahanuni, Fajr al-Islam, dikutip dari MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2006

Amru Abdul Mun’im Salim, Taysir Ulum alHadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat
shul alHadits lil Mubtadi'in, terj. Abah Zacky, Ilmu Hadis Untuk Pemula,
(Mesir: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1997

Subhi As Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuu, terj. Tim Pustaka Firdaus,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)

Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1999). Hlm 55

Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud study kritis
hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual, Yogyakarta: PT.
Pustaka Pelajar, 2001

Endang soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997.

Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amahu Ma’a As-Sunah An-Nabawiyah, terj.
Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung:
Kharisma, 1993.
Departemen agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2005


[1] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual,  (Yogyakarta PT: Pustaka Pelajar, 2001), Hlm.05
[2] H.M Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam,. (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2003), edisi pertama, hlm. 4
[3] Zainuddin MZ dkk, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press.2011), hlm.47
[4] A.Mudjab Mahalli Menelusuri Makna Sabda Nabi. (Yogyakarta: Izzan Pustaka.2001), hlm.8
[5] M. Noor Sulaiman L, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), cet.I, hlm. 204

[6] Baru yang dimaksudkan disini karena dihaddapkan dengan al Qur’an yang berkonotasi qadim. Tentu alas pikir yang dipakai adalah orang yang meyakini bahwa al Qur’an adalah sifat Allah karena ia kalam Allah. Karena Allah itu qadim, maka al Qur\an ikut qadim. Lihat  Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), cet. II, hlm 2.
[7] Ibid, hlm 1.
[8] Al-Tahanuni, Fajr al-Islam, dikutip dari MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2006, hlm 644.
[9] Amru Abdul Mun’im Salim, Taysir Ulum alHadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat shul alHadits lil Mubtadi'in, terj. Abah Zacky, Ilmu Hadis Untuk Pemula, (Mesir: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1997, hlm 12.
[10] MM. Azami, Hadis Nabi dan Sejarah.., hlm 644.
[11] Subhi As Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuu, terj. Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm 21.
[12] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1999). Hlm 55
[13] Ibid.
[14] Sunan Abu Dawud dalam Kitab al Buyu’, bab Fi Al Qabul al Hadaya, dikutip dari Said Agil Al Munawar, Abbul Mustaqim, Asbabul Wurud,... hlm 8
[15] Said Agil Husain Al Munawar, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud.., hlm 9
[16] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual, Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2001 Hlm 12
[17] Ibid..., hlm 13
[18] Ibid hlm 13-16
[19] Endang soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997. Hlm 211
[20] Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amahu Ma’a As-Sunah An-Nabawiyah, terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung: Kharisma, 1993, hlm 92-131.
[21] Departemen agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2005, hlm 97
[22] Untuk melihat dalil-dalil dan contoh lebih detail, lihat Yusuf Qardhawi Kaifa Nata’amahu Ma’a As-Sunah An-Nabawiyah, terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis..., hlm 105-112.
[23] Bukhari dan Muslim bab Pandangan Wanita kepada Orang Habasyah.
[24] Yusuf Qardhawi Kaifa Nata’amahu Ma’a As-Sunah An-Nabawiyah, terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis..., hlm 119.
[25] Untuk lebih jelas lihat Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis..., hlm 133
[26] Hadis tersebut disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim, dari Sahl bin Sa’ad, Abu Sa’id dan Abu Hurairah.

No comments:

Post a Comment

Adbox