Tidak terasa pesta demokrasi tahun 2015 melalui
pemilihan langsung (Pemilu) sudah
di ambang pintu, bahkan proses menuju ritual lima tahunan tersebut untuk
memilih seorang kepala daerah sudah berjalan dan atmosfir kompetisi pun mulai
terasa. Tidak heran ketika para calon kepala daerah yang akan berkompetisi
berlomba-lomba untuk mencari simpati masyarakat dan
mendulang dukungan suara sebanyak-banyaknya
dengan kreatifitas dan
cara-cara yang berbeda, mulai dari memanfaatkan media sosial, pemasangan
poster, “blusukan”, bahkan menyambangi rumah-rumah penduduk.
Memang
pemilihan langsung (pemilu) saat ini diyakini menjadi proses yang ideal dalam
memilih pemimpin secara demokratis, namun ada hal yang menurut penulis perlu
menjadi perhatian bersama, yakni nilai yang ada dalam proses pemilu tersebut
tetap terjaga seperti kejujuran, keadilan, keterbukaan dan sebagainya.
Berkaca
dari pemilu
legislative 2014 lalu dan pada pemilu-pemilu sebelumnya, nuansa persaingan dan ketegangan sangat mungkin akan
muncul ke permukaan, baik dirasakan oleh para calon itu sendiri, tim sukses, penyelenggara pemilu, bahkan
juga oleh
simpatisan-simpatisan yang menginginkan jagonya menang dan tampil untuk
menduduki singga sana yang sangat mahal “harganya”. Perasaan
geram, gusar, pingin ketawa
bercampur marah, ataupun senang pun mungkin itu menjadi ekspresi kita semua
ketika membaca atau melihat berita-berita di media massa tentang warna-warni pemilu, seperti
halnya pemilu legislative
yang dilaksanakan 9 April 2014 lalu.
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian terkait proses
pemilu, yakni masyarakat yang notabenenya menjdai pemilih agar tidak golput. Memang, pemilu kala itu (pemilu legislative 2014) kelihatannya
dapat mengurangi angka golput dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya,
pasalnya pada pileg kala itu sebagian masyarakat mempunyai jago masing-masing
yang didukungnya. Namun, sisi lain dari
proses pileg kala itu patut menjadi
perhatian kita semua, terlebih khusus bagi penyelenggara pemilu. Kita semua
mungkin lihat berita-berita di media cetak maupun elektronik tentang noda-noda
pelanggaran pemilu yang mengurangi keindahan daya tarik pesta demokrasi di
bangsa ini. Berita mulai dari permasalahan proses penetapan daftar caleg,
daftar pemilih, dan hal-hal lain yang menjadi perangkat pemilu senantiasa menghiasi keseharian kita semua,
dan yang paling menyita perhatian menurut penulis adalah pasca pemilihan 9
April 2014 lalu.
Ada banyak cerita yang bisa menjadi pelajaran penting bagi
bangsa kita ke depan, khususnya menjelang hari H pemilihan, seperti halnya ada
dugaan bagi-bagi uang untuk calon pemilih,
dan ketika proses pemilu itu berlangsung. Pada pemilu kali ini, di
tempat penulis berdomisili khusunya, banyak catatan-catatan pelanggaran yang
menodai pesta demokrasi tersebut, seperti data yang dirilis Kaltim Post edisi
12 April 2014, terdapat 12 laporan pelanggaran, baik yang bersifat administratif
maupun pidana. Misalnya saja adanya pemilih yang ingin mencoblos lebih dari
satu kali, permainan KPPS entah disengaja atau tidak, dan yang lebih parah lagi
adanya dugaan jual beli surat undangan C-6, dan mungkin masih banyak lagi
isu-isu kecurangan pemilu yang tidak terdeteksi oleh Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu).
Mungkin inilah yang namanya “demokrasi”, semua orang
bebas melakukan apa saja tanpa mempedulikan efek yang diakibatkan baik secara
langsung maupun jauh di masa depan. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan jikalau
betul-betul bangsa ini ingin maju dan bebas dari cengkraman KKN yang saat ini
menjadi musuh bersama. Mengacu pada pengertian demokrasi menurut Abraham
Lincoln (demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat),
maka seluruh masyarakat Indonesia tentunya berhak dan bertanggungjawab atas proses
demokrasi yang dibangun dalam bangsa ini.
Di tengah maraknya isu-isu kasus korupsi yang menjerat
para wakil rakyat, maka dari itu tentu perlu diperbaiki mulai dari proses pemilihan
wakil rakyat itu sendiri. Proses pemilu ke depan tentu harus diperbaiki dan ada
upaya yang serius untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Menurut penulis, yang menjadi akar sumber dari kecurangan
adalah sumber daya manusia itu sendiri, baik pihak penyelenggara maupun peserta
pemilu yang tidak mempunyai integritas dan nilai-nilai kejujuran. Untuk
mengatasi hal tersebut memang bukanlah hal yang mudah, karena persoalan yang
diatasi sangat abstrak berkaitan dengan jiwa seseorang, namun masalah tersebut
juga tidak boleh menyurutkan langkah penyelenggara pemilu dalam upaya
perbaikan. Menurut penulis ada langkah yang progresif oleh penyelenggara pemilu
tentang perbaikan sistem yang dapat meminimalisir kecurangan-kecurangan
tersebut, antara lain:
Pertama Komisioner Penyelenggara Pemilu (KPU) sebagai
penyelenggara dan pemegang kebijakan perlu melakukan restrukturisasi ataupun
roling pihak-pihak penyelengara di bawahnya, misalnya PPK, PPS dan sebagainya
dalam upaya meminimalisir ikatan emosional yang dapat membuka peluang
terjadinya kecurangan.
Kedua, KPU juga harus memperbaiki perangkat pemilu,
misalnya surat undangan harus disertai dengan tanda dari KPU yang tidak bisa
diduplikat, contohnya memakai hologram/sejenisnya, serta memperbaiki tinta
tanda telah mencoblos, karena sampai sejauh ini isu-isu yang terdengar tinta
tersebut masih bisa dihapus dalam waktu yang singkat.
Ketiga, Berkaca pada pileg tahun 2014 lalu, penulis menemukan
informasi tentang kebingunagan masyarakat mengenai pemilu tersebut, untuk itu
ke depan, KPU juga betul-betul
memastikan informasi tentang pemilu tersebut sampai pada masyarakat, tidak
hanya mengacu pada informasi dari pihak PPK, PPS atau RT, melainkan dari
masyarakat itu sendiri, karena bisa jadi di situ ada pemalsuan informasi. Dalam
hal ini mungkin dari KPU sudah ada upaya maksimal, namun belum tentu upaya itu
ketika sampai pada PPK, PPS, ataupun RT sampai juga pada masyarakat luas.
Keempat, Dalam hal pemutakhiran data,pemilih, hendaknya KPU
juga melibatkan pihak-pihak yang mempunyai idealisme tinggi, misalnya saja
mahasiswa yang identik dengan idealismenya. Karena sumber masalah pemilu juga
berkaitan erat dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT), untuk itu perlu melibatkan
pihak-pihak yang mempunyai idealisme tinggi guna mendapatkan data yang valid.
Kelima, Dalam hal pendistribusian surat undangan pemilih,
hendaknya KPU betul-betul mengawal sampai pada tingkat paling bawah (masyarakat),
karena sangat dimungkinkan akar terjadinya jual beli surat undangan bisa jadi
terletak pada PPK, PPS ataupun RT, misalnya membentuk tim untuk kroscek terkait
pendistribusian surat undangan betul-betul sampai pada tuannya.
Keenam, Dan yang paling penting ketika proses pemilu di
lapangan, hendaknya KPU membuat kebijakan berkaitan dengan perangkat pemilih,
misalnya saja ketika masyarakat hendak memilih harus menggunakan surat undangan
yang syah beserta KTP calon pemilih. Tanpa hal tersebut, akan sangat sulit
untuk mengidentifikasi bahwa surat undangan yang dibawa calon pemilih
betul-betul memang haknya atau punya orang lain, karena pada pemilu-pemilu
sebelumnya banyak terjadi surat undangan tak bertuan alias orang yang tidak
mempunyai KTP, bahkan bukan penduduk setempat bisa mencoblos. Terakhir, “kerjasama”
yang solid antara penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Panwaslu betul-betul
perlu dijalin secara profesional dan pro aktif sebagai mitra kerja yang
sama-sama bertanggungjawab atas terselenggaranya pemilu.
No comments:
Post a Comment