BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki
posisi sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara
struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara
fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
bersifat ‘am (umum),
mujmal (global) atau mutlaq. Adanya perintah agar Nabi
SAW. Menjelaskan kapada umat manusia mengenai al-Qur’an, baik melalui ucapan,
perbuatan atau taqrirnya, dapat diartikan bahwa Hadis berfungsi sebagai bayan
(penjelas) terhadap al-Qur’an. Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika
kemudian Imam al-Auza’i pernah berkesimpulan bahwa al-Qur’an sesungguhnya lebih
membutuhkan kepada al-Hadis daripada sebaliknya. Sebab secara tafshili (rinci)
al-Qur’an masih perlu dijelaskan dengan Hadis[1].
Hingga wafatnya Nabi SAW keyakinan umat Islam terhadap hadits tidaklah berubah[2].
Keharusan
mengikuti hadits bagi umat Islam (baik berupa perintah maupun larangannya) sama
halnya dengan kewajiban mengikuti Al-qur’an. Hal ini karena hadits
merupakan mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an, karena itu
siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai
hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa alqur’an, karena al-qur’an
merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syariat.
Dengan demikian. Antara hadits dengan al-qur’an memiliki kaitan sangat erat,
untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan
sendiri-sendiri[3].
Disamping
sebagai sumber hukum kedua sesudah Al-Qur’an, Hadis mempunyai dua fungsi yakni
menjelaskan maksud kandungan Alqur’an dan menerangkan hukum-hukum yang tidak
disebutkan di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh kongkrit adalah hukum
shalat, zakat, dan haji. Di dalam alqur’an perintah melaksanakan ibadah
tersebut sangat jelas, tetapi tidak diterangkan berapa kali ibadah shalat harus
dilaksanakan dalam sehari semalam, dan berapa pula rakaatnya. Masalah zakat
tidak diterangkan berapa pula nishab dan jenis barang apa yang yang wajib
dizakati. Jenis tanaman dan binatang apa, serta berapa persen zakatnya, sama
sekali tidak diterangkan. Demikian pula halnya masalah haji, tidak ditegaskan
cara mengerjakannya. Semua itu hanya diketahui secara jelas dari perbuatan dan
ucapan Rasulullah[4].
Secara
historisitas penulisan ataupun pengkodifikasian hadits relatif sangat jauh dari
masa hidup Nabi. Dari sinilah kemudian timbul penilaian-penilaian miring yang
dengan sengaja di lakukan oleh
non-muslim untuk menstereotipkan keberadaan hadits di mata umat
Islam. Hal ini bisa menimbulkan akibat yang lebih berbahaya dari pada serangan
fisik[5].
Non-muslim yang mengkaji Islam secara umum khususnya di Barat disebut juga
orientalis. Sebelumnya para orientalis mengkaji Islam hanya pada meteri-materi
keislaman secara umum, seperti bidang sastra dan sejarah. Kemudian
berkembang meliputi kajian tentang
Al-Qur’an, teks Al-Qur’an, Hadits Nabi, Teologi Islam dan Sufisme. Belakangan ini mereka mulai
serius dengan kajian Hadits Nabi, karena kajian tentang Al-Qur’an dinilai
gagal.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para kaum
orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi
hadis Nabi itu sendiri. Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi
banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan
(baca: hadis). Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian
kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang
untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial
dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.
Hingga
akhirnya pada zaman yang terus berkembang dan tantangan juga semakin berat,
perlu juga bagi setiap muslim untuk mengetahui hadis-hadis yang bisa dijadikan
pedoman (hadis) shohih, untuk itu perlu pendekatan-pendekatan yang dilakukan
dari berbagai hal mengenai hadis, salah satunya adalah melalui asbabul wurud
dan metode pemahaman hadis. Di bawah ini akan dibahas secara singkat tentang
ruang lingkup asbabul wurud hadis dan metode pemahamannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun
yang
menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa
itu pengertian hadis?
2. Apa
itu pengertian asbabul wurud?
3. Seperti
apa sebab-sebab turunnya hadis?
4. Bagaimana
metode memahami hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
Hadis
menurut
bahasa artinya al jadid (baru[6]),
pesan keagamaan, berita, pembicaraan, di dalam al Qur’an, kata al hadits
disebut berulangkali dengan makna-makna tersebut. Misalnya: 1). “Allah
menurunkan sebaik-baik al hadits, yaitu Al Qur’an” (QS Al-Zumar: 23), di sini
al hadits artinya pesan keagamaan. 2). “Apakah sudah sampai kepadamu hadits
tentang Musa?” (QS Thaha: 9), di sini hadits artinya cerita. 3). “Maka hendaknya
mereka menddatangkan hadits yang seperti itu jika mereka orang-orang yang benar”
(QS At-Thur: 34), hadits di sini artinya khabar/berita[7].
Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli hadis berpendapat bahwa
hadis adalah sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi SAW[8].
Secara
terminologi, hadis
adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw, baik yang berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, ataupun sifat[9].
Dalam beberapa literatur, hadis itu sinonim dengan sunnah, yang mana sunnah
juga didefinisikan oleh ahli ahli hadis secara terminologi berarti sabda,
pekerjaan, ketetapan, sifat, watak atau tingkah laku Nabi SAW baik sebelum
menjadi Nabi maupun sesudah menjadi Nabi. Sedangkan yang lain berpendapat
sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik ucapan maupun
pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan[10].
Namun,
dalam
literatur lainnya ada yang mengatakan hadis dan sunnah itu sedikit berbeda,
yang mana hadis dari tinjauan Abdul Baqa’ adalah isim (kata benda) dari tahdits
yang berarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan dan
penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi saw.[11]
B. Pengertian Asbabul Wurud Hadis
Secara
etimologis, “asbabul wurud” merupakan
susunan idhafah (kata majemuk) yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata
“asbab” adalah bentuk jamak dari kata
“sabab”. Menurut ahli bahasa
diartikan dengan “al-habl” (tali),
saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda
dengan benda lainnya[12].
Sedangkan wurud merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari warada, yaridu, wurudan yang berarti
datang atau sampai. Dengan demikian, secara sederhana dapat diartikan bahwa
asbabul wurud adalah sebab-sebab datangnya sesuatu.
Secara
terminologi menurut As-suyuti asbabul wurud diartikan sebagai sesuatu yang
menjadi metode untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, khusus,
mutlak, muqoyyad, dan untuk menentukan ada dan tidaknya naskh (pembatalan)
dalam suatu hadits.[13]
Lain halnya
menurut Hasbi Ash Shiddiqie, mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut, yang
artinya:
“Ilmu yang
menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi SAW
menuturkannya[14].
Dari
beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa asbabul wurud adalah
konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau yang
lainnya yang terjadi pada saat hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat
berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadis itu bersifat
umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, nasakh atau mansukh dan sebagainya.[15]
C. Sebab-Sebab Turunnya Hadis
Menurut
imam as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam,
yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an.
Artinya di
sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya.
Contohnya antara lain firman Allah SWT dalam Q.S. Al-An’am: 82.
Orang-orang yang beriman, dan mereka
tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan
petunjuk.
Ketika itu
sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian “jaur” yang
berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan
penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah
asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan dalam
surat al-Luqman: 13 yang artinya: “sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman
yang besar.”
2. Sebab yang berupa Hadis itu sendiri.
Artinya pada
waktu itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan
memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap
Hadis tersebut. Contoh:
Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi,
yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan
seseorang. (HR. Hakim).
Dalam
memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka
bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW
menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh
Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa
jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut,
seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi
berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu
lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat
mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu,
maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka). Ketika
mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya
rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan
terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua
jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: iya benar. Lalu
Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki
para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan
tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi). Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat
Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah
para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan
jenazah itu jahat.
3. Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan
dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai
contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid
ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah
datang kepada nabi SAW seraya berkata:
“Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar
pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi bersabda: “Shalat Di Sini, yakni
masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku
Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram
Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memenuhi nazarmu”. Kemudian Nabi
SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini, Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Utama
Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram. (H.R. Abdurrazzaq
Dalam Kitab Al-Mushannafnya)[16].
D. Urgensi Asbabul Wurud
Asbabul
wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadis.
Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, cultural,
bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya
hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman
dalam menangkap maksud suatu hadis. Sedemikian rupa sehingga kita tidak
terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita
ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbabul wurud
akan cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang
akomodatif terhadap perkembangan zaman.
1.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut
imam as-Suyuthi antara lain untuk: Menentukan adanya takhsish hadis yang
bersifat umum.
2.
Membatasi pengertian hadis yang
masih mutlak.
3.
Mentafshil (memerinci) hadis yang
masih bersifat global.
4.
Menentukan ada atau tidak adanya
nash-mansukh dalam suatu hadis. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya
suatu hukum.
5.
Menjelaskan maksud suatu hadis yang
masih musykil (sulit dapahami)
Sebagai
ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis,
yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya
hadis yang berbunyi:
Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari
orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad).[17]
Pengertian “shalat” dalam
hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan
sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami
bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat
fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan
suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul
wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan penduduknya sedang
terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan
shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu
bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi
kemudian bersabda :” shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari
orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan nabi tersebut, akhirnya
para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari
penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah
bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk,
maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat dengan berdiri.
Dengan
demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri
-mungkin karena sakit, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih
shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam
hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia
termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan
syari’at.
Adapun
contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang
mutlak adalah hadis yang berbunyi:
“Barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi
atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya,
maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapa yang
melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti
orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa
mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata
“sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian
tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah
sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakan kata yang mutlaq baik yang
mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul
wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-sama
sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan
kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi
SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu
memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar mengumandangkan adzan dan
iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi SAW
keudian berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada
Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang
miskin tersebut.
Mendengar
anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu
kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh
Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi
bersabda : “Man Sana Sunatan Hasanah”
Dari asbabul
wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam hadis
tersebut adalah sunnah yang baik.[18]
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis
adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan
peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum
pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain. Dalam
hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar
pemberitaan para sahabat`[19]
E. Metode Pemahaman Hadis
1.
Memahami sesuai petunjuk Al Qur'an, seperti firman Allah dalam surah
Al An’am:
115, yang artinya: “Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan
keadilannya. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimatNya dan Dia lah maha
mendengar lagi maha mengetahui”
Dari situ jelaslah bahwa Al Qur’an adalah “ruh” dari
eksistensi islam dan asas bangunanya. Ia merupakan konstitusi dasar yang
pertama dan kepadanya bermuara segala perundang-undangan islam. Sementara
hadis/sunnah merupakan penjelas, jadi tidak mungkin penjelas bertentangan
dengan yang dijelaskan. Oleh sebab itu, menurut Yusuf Qardhawi bahwa “penjelas”
tidak mungkin bertentangan dengan “apa yang dijelaskan” itu sendiri.
Contoh misalnya hadis tentang kaum wanita, yang berbunyi:
',Bermusyautarahlah dengan mer eka, tetapi bertindahlah b erhutanan
dengan (hasil musyawarah) rnqeka." Ini adalah hadis yang tidak sah dan
dipalsukan. Sebab ia bertenrangan dengan firman Allah SWT berkenaan dengan apa
yang harus dilakukan oleh kedua orangrua terhadap anak bayi mereka yang masih
menyusu, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah; 233)., yang
artinya:
"... Maka
apabila keduanya ingin mennyapih (sebelum si,bayi berusia dua tahun) dengan kerelann
keduanya dan sebagai permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya".[21]
Dan apabila ada
perbedaan pemahaman diantara para fuqaha, maka yang paling kuat adalah yang
dekat dengan petunjuk Al-Qur’an.
2.
Menghimpun hadis-hadis yang se-tema.
Menurutnya, untuk memahami hadis secara benar harus
menghimpun hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan satu tema tertentu. Kemudian
mengembalikannya yang mutasyabih
kepada yang muhkam, mengaitkan yang mautlaq dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am
dengan yang khaas.
Contoh, misalnya hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan "mengenakan
sarung sampai di bawah mata kaki" yang mengandung ancaman cukup keras
terhadap pelakunya. Yaitu hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh sejumlah
pemuda yang amat bersemangat, untuk menujukan kritik yang rajam terhadap
siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub (baju gamis)-nya sehinga di atas mata
kaki. Sedemikjan bersernangarnya mereka, sehingga hampir-hampir menjadikan masalah
memendekkan tsaub lni, sebagai syiar Islam terpenting atau kewajibannya yang
mahaaguirrg. Dan apabiia menyaksikan seorang 'alim atau da’i Muslim yang tidak
memendekkan tsaub-nya, seperti yang mereka sendiri melakukannya, maka mereka
akan mencibirnya, dalarn hati, atau adakalanya menuduhnya secara
terang-terangan sebagai seorang yang "kurang beragama"! Padahal,
seandainya kalau mereka mau mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan
masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai
dengan tuntutan agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang
menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa
sebenarnya yang dimaksud oleh hadis-hadis seperti itu. Dan sebagai akibatnya,
mereka akan mengurangi ketegaran sikap mereka dan tidak menyimparg terlaiu jauh
dari kebenaran, serta tidak akan mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah
dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.[22]
3.
Menggabungkan atau mentarjihkan antar
hadis-hadis yang tampak bertentangan.
Pada dasarnya tidak ada nash-nash yang bertentangan,
seandainya adapun tampak luarnya saja, sebab kebenaran tidak akan bertentangan
dengan kebenaran. Dan atas dasar itu menurut Yusuf Qardhawi, pertentangan itu
dapat dihilangkan melalui:
Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau
menyesuaikan arrtara kedua nash, tanpa harus rnernaksakan atau rnengada-ada,
sehingga keduaduanya dapat diamalkan, rnaka yang dernikian itu lehrh utama
daripada harus mentarjihkan antala keduanya Sebab, pentarjihan berarti
mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lainnya.
Contohnya adalah para ulama menolak hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah
tentang pengharaman bagi perempuan memandang laki-laki, walaupun laki-laki itu
buta, karena itu dianggap dhaif dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh Aisyah, Fatimah Binti Qais, yang membolehkan wanita memandang laki-laki
yang bukan mahromnya “ Dari Aisyah ra
katanya: Rosululloh SAW menutupi diriku dengan rida’ (kain selendang) beliau
sementara aku menonton orang-orang Habasyah menunjukkan kemahiran mereka di
Masjid[23]”.
Menurut Al Qadhi ‘Iyadh, dari hadis tersebut dapat disimpulkan bolehnya
kaum wanita memandang pekerjaan laki-laki yang bukan mahrom. Adapun yang tidak
disukai adalah memandang bagian-bagian (tubuh) yang indah serta merasa senang
dengan itu.
Alqurthubi juga berkata “ Para Ulama telah menyimpulkan dari hadis ini bahwa
perempuan boleh melihat bagian tubuh laki-laki, sama seperti yang boleh dilihat
oleh oleh laki-laki dari perempuan. Seperti kepala dan telinga tempat
menggantungkan anting-anting, tetapi tidak boleh melihat bagian yang termasuk
aurat”.[24]
4.
Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi hadis ketika diucapkan
diperbuat serta tujuaannya.
Salah satu cara untuk memahami hadis adalah memperhatikan sebab-sebab
khusus yang melatar belakangi diucapkannya suatu hadis.
Contoh misal hadis yang berbunyi “Kalian
lebih mengerti urusan dunia kalian”. Hadis ini oleh sebagian orang
dijadikan dalih untuk menghindar dari hukum syari’at berbagai bidang ekonomi,
politik, sosial dan sebagainya. Sebab semua itu yang mereka dakwakan menurtnya
adalah urusan dunia kita dan kita lebih mengerti tentangnya. Tentu hal ini
bertentangan dengan tugas manusia yang harus bertanggungjawab juga tentang
urusan-urusan dunia dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya.
Dari sini, hadis tersebut diatas ketika diucapkan Nabi SAW perlu
ditinjau/dilihat alasan atau situasi dan kondisi saat itu waktu hadis itu
diucapkan oleh Nabi.[25]
5.
Mampu membedakan antara sarana yang berubah-ubah
dengan sasaran yang tetap.
Maksudnya adalah perlunya membedakan sarana dan
sasaran dari hadis itu, mengingat sebagian orang mencampur adukkan antara
tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh suatu hadis dengan sarana temporer
yang kadangkala menunjang pencapaian sasaran yang dituju. Mereka memusatkan
diri pada berbagai prasarana seolah-olah itu memang merupakan tujuan
sebenarnya. Padahal, menurut Yusuf Al Qardhawi, siapa yang benar-benar ingin
memahami hadis serta rahasia-rahasia yang dikandungnya akan tampak bahwa yang
terpenting adalah apa yang menjadi tujuan yang hakiki. Itulah yang abadi,
sedangkan sarananya dapat berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Misalnya
tentang resep-resep pengobatan thabib an-nabawi, seperti berbekam adalah
sebaik-baik pengobatan, jintan adalah obat dari segala penyakit, bercelak
membuat penglihatan jadi jelas dsb. Intasari dari hadis tersebut, menurut Yusuf
Qardawi, bukanlah dari sarananya (bekam, jintan/bercelak), melainkan pentingnya
menjaga kesehatan dan berusaha mencari kesembuhan (jika sakit) yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai syariat islam.
6.
Mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan bersifat
metafora.
Yang dimaksud di sini adalah perlunya memahami suatu
teks hadis melalui bahasanya, itu majaz atau ungkapan sebenarnya. Misalnya
waktu itu Rosululloh saw berkata kepada istri-istri beliau: “Yang paling cepat menyusulku diantara kalian
sepeninggalku adalah yang paling panjang tangannya”. Dari perkataan
tersebut, para istri-istri Rasul mengira panjang tangannya dalam bentuk lahir,
hingga kata Aisyah: mereka saling mengukur panjang tangannya. Bahkan menurut
riwayat laian ada yang menggunakan sepotong bambu untuk mengukur tangan itu.
Padahal yang dimaksud “panjang tangannya” oleh Rosulullah saw adalah orang yang
paling banyak kebaikan dan kedermawannya.
7.
Mampu membedakan antara hadis yang berkenaan dengan alam gaib (kasat mata)
dengan yang tembus pandang.
Dari sekian banyak hadis Nabi, diantaranya ada juga
yang berkaitan dengan yang ghaib, makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat oleh
manusia. Misalnya Malaikat diciptakan oleh Allah SWT untuk melakukan
tugas-tugas tertentu ataupun misalnya tentang alam barzah, kursy, lauhul mahfuz, dsb. Hal ini menurut Yusuf
Qardhawi perlu diperhatikan betul mengingat terkadang akal manusia tidak mampu
sepenuhnya untuk mengkaji atau mendalami hal-hal yang berkaitan dengan hal
ghaib, untuk itu perlunya adanya pembedaan antara yang ghaib dan kasat mata
agar mampu memahami hadis itu sendiri.contoh misal hadis yang artinya:
“Ada pohon di Surga yang (sedemikian besarnya)
seseorang berjalan di bawah keteduhannya dalam waktu seratus tahun pun, belum
cukup melewatinya”.[26]
8.
Mampu Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.
Ini penting dilakukan, sebab konotasi kata-kata
tertentu adakalanya berubah-ubah dari satu masa ke masa yang lain, dan dari
ssatu lingkungan ke lingkungan yang lainnya. Pertimbangannya adalah adakalanya
suatu kelompk manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk kata-kata
tertentu pula. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka
menafsirkan kata-kata yang ada dalam sunnah tersebut sesuai dengan istilah
mereka yang baru ( atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja), nah di
sini nantinya akan timbul kerancuan dan kekeliruan. Perubahan ini makin lama
akan makin meluas dengan pergantin tempat dan waktu serta perkembangan yang
dialamai oleh manusia. Sehingga dengan demikian kesenjangan akan makin meluas
dengan konotasi aslinya yang digunakan ddalam syari’at, dan yang dikenal
kemudian dalam istilah-istilah baru yang mutakhir. Dari sinilah timbul kekeliruan
dan kesalah pahaman yang sebetulnya tidak disengaja, disamping adanya
penyimpangan sejarah dan distorsi yang memang disengaja.
Itulah
yang diperingatkan oleh para pakar dan peneliti dari kalangan ulama besar;
yakni digunakannya istilah-istilah syariat secara rancu sehingga lama keiamaan,
penerapannya menjadi lebih dominan untuk konsep-konsep baru yang diciptakan
kemudian. Demikianlah, siapa saja yang tidak memperhatikan ketentuan ini, pasti
akan tergelincir ke dalam banyak kekeliruan, sebaga.imana yang kita saksikan
sekarang. Ambillah ,sebagai contoh, kata tashwir (pembuatan gambar atau Pembentukan
rupa) yang disebutkan dalam beberapa_hadis sahih_yang disepakati. Apa kira-kira yang dimaksud dengannya dalam
hadis-hadis yang mengancam para mushawwir (pembuat gambar) dengan azab yang amat
pedih?
Tidak
sedikit dari kalangan orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan hadis dan
fiqih, memasukkan dalam ancaman ini, para ahli foto (yang dalam bahasa Arab
sekarang disebut mushawwir - penerj.) yang menggunakan kamera mereka untuk
mengambil garnbar-gambar tertentu. Apakah penamaan mereka yang menggunakan
kamera ini dengan sebutan mushawwir dan pekerjaan mereka disebut tashwir sudah
ada sejak dahulu kala dalam bahasa Arab? Tentunya tak seorang pun akan
menyatakan bahwa ketika bangsa Arab mulai mengenal kata ini, telah terlintas dalam
benak mereka mengenai hal tersebut. Jelas bahwa penamaan seperti ini hanyalah
berdasarkan kebiasaan setempat semata-mata. Dan tidak ada seorang pun akan
berkata bahwa ini adalah penamaan berdasarkan syariat. sebab, seni fotografi
ini sarna sekali belum dikenal pada masa tasyri'. Maka tak mungkin kata
tersebut (dalam hadis) dimaksudkan untuk ditujukan kepada si ahli foto,
sedangkan ia belum ada pada waktu itu. Jelas bahwa itu adalah istilah baru
berdasarkan suatu kebiasaan yang baru pula. Kita sendiri atau orang-orang tua
kita yang pertama kali menyaksikan munculnya hasil teknologi itulah yang telah
memberinya nama tashwir fotograhfi. Bisa saja mereka menamainya dengan suatu
istilah lain. Misalnya, mereka dapat menamainya 'aks (pemantulan) dan pelakunya
disebut 'akkas’ (pemantul gambar) seperti yang dikatakan oleh penduduk Qatar dan
kawasan Teluk. Seseorang dari mereka akan pergi ke tempat tukang foto ('aKkas)
lalu berkata kepadanya: "Saya minta Anda melakukan 'aKKs untuk saya (yakni
mengambil foto dirinya). Dan barangkali istilah
yang
mereka gunakan itu lebih dekat kepada inti pekerjaan itu sendiri. Sebab, pada
hakikatnya, hal itu tidak lebih dari memantulkan gambar dengan cara tertentu. Seperti
halnya gambar sesuatu yang terpantul dalam cermin. Dan seperti itulah yang
disebutkan oleh Asy-syaikh
Muhammad
Bakhit Al-Muth!'iy, mufti Mesir di zanmannya. yaitu dalam risalah yang
ditulisnya berjudul Al-Jawab al-Kafiy fi Ibahat At-Tashwir Al-Fotoghrafi
(Jawaban Tuntas tentang Dibolehkannya Fotografi). Dan sebagaimana orang-orang
sekarang menamakan gambar fotografi (dalam bahasa Arab) sebagai tashwir; mereka
juga menamakan tashwir mujassam atau gambar yang berbentuk tiga dimensi sebagai
naht (pahatan). Yaitu yang oleh para ulama dahulu kala disebut "gambar
yang berbayarg", dan yang mereka sepakati hukumnya haram, selain yang
berbentuk mainan anak-anak (atau semacam boneka). Adakah penggunaan kata naht
(pahatan) bagi tashwir jenis ini membebaskan pembuatnya dari ancaman keras yang
terdapat dalam hadis-hadis tentang tashwir dan mushawwir? Tentunya tidak. Sebab
tashwir jenis inilah yang paling tepat memenuhi makna tashwir yang terlarang,
baik dari segi bahasa maupun syariat.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hadis merupakan sumber hukum yang
kedua setelah al qur’an. Dalam pengertaian beberapa ulama, ada yang mengatakan
hadis beda dengan sunnah, tapi bagi sebagain lain hadis sinonim dengan sunnah.
Begitu penting posisi hadis sebagai sumber hukum ke dua setelah al qur’an, maka
untuk betul-betul selektif mengetahui hadis yang akan dijadikan dasar rujukan
dalam menjalankan syari’at islam, perlu diketahuai dari berbagai aspek, salah
satunya dengan mengetahui asbabul wurud dan metode memahami hadis itu sendiri.
B. Saran
Dari tinjauan pembahasan tersebut
di atas, masih terlihat cukup banyak kekurangan, misalnya saja terkait metode
pendekatan hadist tahlili, ijmali, muqaramin
untuk orang awam yang ingin tahu hadis akan kesulitan untuk memahaminya. Begitu
juga hal yang disampaikan oleh Yusuf Al Qardhawi pada sebagaian point mudah
dipahami, tapi sebagaian lain tentu memerlukan kajian yang mendalam untuk
memahami hadis. Dari berbagai metode memahami hadis tersebut di atas, terlihat
jelas masih ada kesulitan untuk orang-orang yang tidak konsentrasi dalam
mempelajari hadis akan kesulitan memahami hadis secara utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad’Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu
wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud study kritis
hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual,
(Yogyakarta PT:
Pustaka Pelajar, 2001)
H.M Erfan
Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa
Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr
Al-Islam, Edisi I (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2003)
Zainuddin MZ
dkk, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press.2011)
A.Mudjab Mahalli Menelusuri Makna Sabda Nabi. (Yogyakarta: Izzan
Pustaka.2001)
M. Noor Sulaiman L, Antologi
Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),
cet.I
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003),
cet. II
Al-Tahanuni, Fajr al-Islam,
dikutip dari MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya,
Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2006
Amru Abdul
Mun’im Salim, Taysir Ulum alHadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat
shul alHadits lil Mubtadi'in, terj. Abah
Zacky, Ilmu
Hadis Untuk Pemula,
(Mesir:
Maktabah Ibnu Taimiyah, 1997
Subhi As Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuu, terj. Tim
Pustaka Firdaus,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2009)
Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1999). Hlm 55
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud study kritis
hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual, Yogyakarta: PT.
Pustaka Pelajar, 2001
Endang soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti
Press, 1997.
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amahu Ma’a As-Sunah An-Nabawiyah,
terj.
Muhammad
Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi
SAW, Bandung:
Kharisma, 1993.
Departemen agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV
Penerbit
Diponegoro, 2005
[1] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan
sosio/histories/-kontekstual, (Yogyakarta
PT: Pustaka Pelajar, 2001), Hlm.05
[2] H.M Erfan Soebahar, Menguak
Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad
Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam,. (Jakarta: Prenada Media Kencana,
2003), edisi pertama, hlm. 4
[6] Baru yang dimaksudkan disini karena
dihaddapkan dengan al Qur’an yang berkonotasi qadim. Tentu alas pikir yang
dipakai adalah orang yang meyakini bahwa al Qur’an adalah sifat Allah karena ia
kalam Allah. Karena Allah itu qadim, maka al Qur\an ikut qadim. Lihat Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003), cet. II, hlm 2.
[7] Ibid, hlm 1.
[8] Al-Tahanuni, Fajr al-Islam,
dikutip dari MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pejaten Barat:
Pustaka Firdaus, 2006, hlm 644.
[9] Amru Abdul
Mun’im Salim, Taysir Ulum alHadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat shul alHadits lil
Mubtadi'in, terj. Abah Zacky, Ilmu Hadis Untuk Pemula, (Mesir:
Maktabah Ibnu Taimiyah, 1997, hlm 12.
[10] MM. Azami, Hadis Nabi dan
Sejarah.., hlm 644.
[11] Subhi As Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuu, terj. Tim
Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm 21.
[13] Ibid.
[14] Sunan Abu Dawud dalam Kitab al
Buyu’, bab Fi Al Qabul al Hadaya, dikutip dari Said Agil Al Munawar, Abbul
Mustaqim, Asbabul Wurud,... hlm 8
[15] Said Agil Husain Al Munawar,
Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud.., hlm
9
[16] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan
sosio/histories/-kontekstual, Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2001 Hlm 12
[17] Ibid..., hlm 13
[18] Ibid hlm 13-16
[20] Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amahu Ma’a As-Sunah An-Nabawiyah,
terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami
Hadis Nabi SAW, Bandung: Kharisma, 1993, hlm 92-131.
[21] Departemen agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV
Penerbit Diponegoro, 2005, hlm 97
[22] Untuk melihat dalil-dalil dan
contoh lebih detail, lihat Yusuf Qardhawi Kaifa
Nata’amahu Ma’a As-Sunah An-Nabawiyah, terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis..., hlm
105-112.
[23] Bukhari dan Muslim bab Pandangan
Wanita kepada Orang Habasyah.
[24] Yusuf Qardhawi Kaifa Nata’amahu Ma’a As-Sunah An-Nabawiyah,
terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana
Memahami Hadis..., hlm 119.
[25] Untuk lebih jelas lihat Al-Baqir,
Bagaimana Memahami Hadis..., hlm 133
[26] Hadis tersebut disepakati
kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim, dari Sahl bin Sa’ad, Abu Sa’id dan Abu
Hurairah.
No comments:
Post a Comment